Oleh Riyanto, mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi
PERISTIWA
Talangsari-Lampung 1989 adalah tindakan radikal, anarkis, bahkan subversif,
yang memang direncanakan. Selain direncanakan, juga merupakan perbuatan yang
dilakukan secara bersama-sama berlandaskan penanaman doktrin ideologis yang
keliru.
Rencana
menuju perbuatan radikal, anarkis bahkan subversif itu dapat dilihat dari
kronologis berikut ini:
Sejak
September 1988, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan
Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1,
Prumpung, Jakarta Timur.
Dari
pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang.
Sedangkan
tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic
Village di seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai basis gerakan. Untuk
membangun Islamic Village ini, pada
Oktober 1998 Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin
dan Sofyan berangkat ke Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin kelompok
pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5 hektar.
Masih
pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama-sama dengan Fauzi Isman,
Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar Warsidi (Lampung), yaitu Ir.
Usman, Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah). Isi pertemuan pada dasarnya
menyetujui adanya kerja sama membangun Islamic
Village.
Rencana
membangun Islamic Village sebagai
basis perjuangan kian dipertegas ketika Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama
Fauzi Isman berangkat ke Lampung, melakukan pembicaraan dengan Anwar Warsidi,
intinya:
Pertama, Anwar Warsidi menerima “keputusan
Cibinong” (12 Desember 1988) tentang dijadikannya Lampung sebagai basis
perjuangan (Islamic Village).
Kedua, Jama’ah Lampung bersedia menjadi
“kaum Anshor”.
Ketiga, Jama’ah dari Jakarta yang akan ke
Lampung harus mendapat rekomendasi dari Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, atau
Fauzi Isman atau Sudarsono.
Sebagai
tindak lanjut pertemuan dan keputusan tersebut, maka pada Januari 1989, Nur
Hidayat bin Abdul Mutholib memberangkatkan sejumlah orang dari Jakarta, yaitu
Alex (beserta keluarga), Margo, Sugeng, Muslim, Sukardi (beserta keluarga),
Sofyan, Arifin, Ucup, Heru Saefudin, Iwan, Fahrudin, Kasim, Joko, ke Lampung.
Bersamaan dengan rombongan itu, melalui Alex, dititipkan sejumlah 300 anak
panah.
Cita-cita
jangka pendek membangun Islamic Village
sebagai basis perjuangan, musnah seketika, bersamaan dengan terjadinya insiden
berdarah yang menewaskan Kapt. Inf. Soetiman, di tangan mbah Marsudi, kakak kandung Anwar Warsidi, pada 6 Februari 1989,
menjelang dzuhur.
Peristiwa
itu mengakibatkan terjadinya eksodus. Sebagian dari para muhajirin (yang semula
terdiri dari sekitar 100 jiwa) itu meninggalkan Cihideung, hingga tertinggal
beberapa Kepala Keluarga yang berjumlah sekitar 58 jiwa.
Pada
tanggal 7 Februari 1989, pukul 03:00 pagi, pasukan Korem Garuda Hitam tiba di
lokasi. Melalui pengeras suara, petugas berulangkali memperingatkan Warsidi untuk
segera menyerahkan jenazah Kapten Inf. Soetiman. Namun tak dihiraukan. Ketika
pagi mulai menyeruak, ada yang memberi komando untuk berjihad. Serta-merta,
jama’ah Warsidi pun berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok menyerang
petugas.
Terjadilah
peperangan (qital) yang tidak
seimbang. Peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Ketika
peperangan (qital) terjadi, jumlah
jama’ah Warsidi yang berada di TKP Cihideung pasca eksodus adalah 58 jiwa. Dari
58 jiwa, hanya tujuh jiwa yang selamat (hidup) termasuk Jayus dan mbah Marsudi.
Dari
sejumlah 51 jiwa yang tewas, ada yang tewas karena peperangan (Lelaki dewasa), sedangkan
wanita dan anak-anak tewas akibat terbakar bersama-sama dengan terbakarnya
pondok yang mereka jadikan tempat tinggal. Siapa yang membakar pondok? Dugaan
kuat mengarah kepada Muhammad Ali alias Alex.
Tanggal
7 Februari 1989, pukul 07.00 wib, Loso (saat itu 60 th) dan Kamarudin (saat itu
30 th), warga Pakuan Aji yang menjadi pemandu garis depan, mendengar ada orang
merintih-rintih di dalam sebuah pondok.
Kedua
orang ini mencari tahu, dari mana suara itu berasal. Belakangan diketahui,
seseorang membacok anggotanya sendiri, ketika hendak menyerahkan diri kepada
aparat. Kamarudin malah melihat, bangunan rumah bambu itu kemudian dibakar oleh
anak buah Warsidi. Pukul 11.30 wib (menjelang Lohor), kobaran api yang melahap
pondok Warsidi beserta isinya baru bisa dipadamkan.
Pasca Peperangan
Beberapa
hari setelah peperangan, pada tanggal 10 Februari 1989 berlangsung sebuah
pertemuan di kediaman Mafaid Faedah Harahap (Gang H. Jalil, Dukuh Atas, Jakarta
Pusat). Selain tuan rumah, pertemuan ini dihadiri oleh Nur Hidayat bin Abdul
Mutholib, Fauzi Isman, Wahidin, Ridwan, Maulana Abdul Lathief, dan Sukardi,
untuk membahas peristiwa Lampung.
Pertemuan
tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:
Pertama, melakukan gerakan balasan di Jakarta dan berbagai daerah lain yang
memungkinkan untuk itu.
Kedua, mengirimkan utusan ke berbagai
daerah.
Ketiga, membuat anak panah beracun dan bom
molotov.
Kempat, menetapkan nama gerakan dengan
Front Komando Mujahidin (FKM).
Kelima, membuat selebaran tentang Maklumat
Komando Mujahidin dan Tragedi Talangsari III Lampung.
Pada
tanggal 11 Februari 1989 di bengkel Yus Iskandar, Kompleks Seroja Bekasi, dan
di Pangkalan Jati Jakarta Timur, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono,
Iwan, Sukardi, Fauzi Isman, Sofyan dan saya (Riyanto)
membuat ratusan anak panah yang terbuat dari jeruji sepeda motor.
Gerakan
balasan sebagaimana disebutkan tadi, direncanakan akan terlaksana 2 Maret 1989,
berupa: meledakkan/membakar pasar Glodok, Pasar Pagi, Pompa bensin di sepanjang
Jalan Jen. Sudirman, Jalan Jen. Gatot Subroto, hingga ke kawasan Tanjung Priok.
Rencana
tersebut belum sempat terlaksana, karena aparat telah lebih dulu melakukan
penangkapan pada akhir Februari 1989, terhadap Nurhidayat bin Abdul Mutholib
dan kawan-kawan, kecuali Mafaid Faedah Harahap dan Wahidin.
Nurhidayat
sejak awal tahun 2000 membubuhi ‘marga’ Assegaf di belakang namanya. Bahkan
sejak beberapa tahun belakangan, ia melengkapi namanya dengan ‘predikat’ habib.
Padahal dia bukan keturunan Arab, bukan pula habib.
Tentang Nurhidayat
Nurhidayat
pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam
Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan
membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono
dan kawan-kawan merencanakan sebuah aksi radikal yang kemudian terkenal dengan
peristiwa Talangsari-Lampung (Februari 1989).
Rencana
aksi radikal yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi oleh sebuah
ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam. Ambisinya itu
dimulai dengan membuat semacam “negara” di dalam negara.
Di
“negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan
kawan-kawan, dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik
lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah
di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam
negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada
Warsidi dan pengikutnya.
Nurhidayat
dan kawan-kawan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas
terjadinya tragedi berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah
memerintahkan untuk membuat “kota perjuangan” sebagai basis pergerakan, di
Talangsari.
Sebagai
Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke
Talangsari. Bahkan siapa saja (dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud
melaksanakan hijrah ke Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji kepada
kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-bai'at (sumpah setia dan taat kepada
Nurhidayat tanpa boleh ditentang), bahkan siap mati untuk perjuangan menegakkan
syariat Islam.
Jadi
sejak awal, mereka yang berhijrah atau dihijrahkan ke Talangsari, Lampung,
sudah bertekad untuk berjuang sampai mati.
Tentang Azwar Kaili
Nama
Azwar Kaili berulang kali menghias media massa
setiap ada gerakan KONTRAS mengeksploitasi kasus Talangsari. Siapa Azwar?
Pria
kelahiran Pariaman (Sumatera Barat) tahun 1942 ini hanya sempat duduk di bangku
kelas III SMP (1957). Azwar tidak sempat menamatkan pendidikannya karena masuk
Tentara Pelajar Pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
bagian kesehatan.
Pada
tahun 1959, ia merantau ke Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, dengan
profesi sebagai agen rokok cap Gentong.
Pada
tahun 1966 Azwar kembali ke Pariaman untuk menikah. Setahun kemudian ia kembali
ke Tanjung Karang, namun usaha agen
rokok yang dilanjutkan kakak kandungnya telah bangkrut. Sisa modal digunakan
untuk membuka warung nasi masakan padang yang tidak berhasil, sehingga beralih
usaha menjadi pedagang kain keliling.
Sekitar
tahun 1969 Azwar bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan
membuka Desa Sidorejo di kawasan Hutan Lindung Gunung Balak. Ia berjualan
obat-obatan dan sejak itu berprofesi sebagai mantri kesehatan swasta di Desa
Sidorejo.
Azwar
ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan
tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di
rumah Zamzuri, tetangga dekatnya.
Dua
puteranya ikut pengajian Abdullah, mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah
Sungkar Jawa Tengah yang ditampung Zamzuri. Pada 4 Januari 1989 kedua puteranya
ikut pengajian di Umbul Cihideung atas ajakan Abdullah. Kedua puteranya
termasuk korban Peristiwa 7 Februari 1989.
Sebagai
penduduk Sidorejo, Azwar Kaili tergolong aktif mengikuti pengajian-pengajian
yang diselenggarakan anak buah Warsidi bernama Abdullah alias Dulah dan Pak
Sediono. Begitu juga dengan Warsito, anak angkat Azwar. Putra Azwar Kaili yang
pernah ikut-ikutan Warsito mengaji kepada Abdullah seluruhnya empat orang, tiga
lainnya adalah Iwan, Haris, dan Ujang.
Meski
usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Dulah sebagai calon Mujahid,
dan secara resmi menjadi anggota Jama’ah Warsidi sekurangnya sejak tahun 1988.
Warsito dan beberapa teman sebayanya sudah menjadi sosok yang militan akibat
binaan Dulah.
Beberapa
saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama anak pak Sediono (almarhum
terlibat kasus Talangsari) yaitu Zulkarnaen dan Zulfikar, juga anak pak Zamzuri
(Isrul Koto) mereka pamit kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke
Talangsari.
Ada
satu momen khusus yang masih teringat, bahwa anak Pak Sediono yang bernama
Zulfikar (teman Warsito) sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad,
menyampaikan kata-kata akhir kepada adiknya: “seandainya saya mati dik, tolong
dirawat ayam-ayam ini…”
Di
sebuah media Azwar Kaili mengatakan, bahwa kepergian Warsito ke Talangsari
adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang Rp 1.000 dan seekor ayam. Padahal,
sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke
Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).
Azwar
Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan. Hal ini terjadi pada hampir semua
orang yang punya kaitan dengan pengajian yang diselenggarakan Dulah. Namun
tidak lama, setelah melalui proses pemeriksaan, dan tidak terbukti ada kaitan
dengan kasus Talangsari, maka mereka pun dilepas, termasuk Azwar, yang tidak
ditemukan indikasi keterkaitannya dengan gerakan separatis Warsidi kecuali
sebagai jamaah pengajian biasa.
Di
sebuah media Azwar mengakui, bahwa rumah dan harta lainnya yang ia kumpulkan
sejak masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Proses
pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil.
Pernyataan
itu jelas tidak benar. Setahu kami, meski terjadi penangkapan dan penahanan
atas diri beliau, namun tidak ada pembakaran dan perampokan atas harta benda
beliau.
Menurut
hemat saya, motif yang melandasi Azwar Kaili bukanlah sesuatu yang luhur (demi
kemaslahatan ummat atau korban) tetapi semata-mata ingin mencari peluang
mendapatkan keuntungan materiel (finansial) dengan mengeksploitasi
(mengkomersialkan) keterkaitan dirinya dengan anak angkatnya yang bernama
Warsito.
Apalagi
di usianya yang kian senja, Azwar Kaili juga harus berhadapan dengan kenyataan
pahit: dua orang anak kandungnya (Haris dan Ujang) pernah ditangkap aparat
kepolisian karena terlibat tindak kriminal, mereka berdua menjadi penadah
sepeda motor curian di Lampung beberapa tahun lalu.
Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2015/02/04/peristiwa-talangsari-lampung-adalah-peperangan-melawan-thogut-699946.html
No comments:
Post a Comment