BERDALIH
HAM UNTUK MENSTIGMA ISLAM
Wawancara dengan mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi Lampung
RIYANTO, salah seorang pelaku
kasus Talangsari-Lampung (1989), melihat adanya sebuah fenomena yang membuatnya
miris: sekelompok orang yang dulu berkoar-koar berjihad di jalan Allah, melawan
thagut, namun belakangan justru terlihat giat melakukan tuntutan ganti rugi,
seraya memposisikan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM.
Bagi
Riyanto, yang pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi,
dan terlibat pembunuhan aparat militer, sikap seperti itu hanya merendahkan
diri yang bersangkutan, sekaligus membuka peluang untuk dimanfaatkan oleh
pegiat HAM yang diduga mempunyai agenda tersendiri.
Lelaki
berkulit sawo matang kelahiran Desa Comal (Jawa Tengah) tanggal 02 Februari
1951 ini, divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada
tanggal 04 Januari 1990, dan sempat menjalani masa-masa hukumannya di LP Batu
Nusakambangan.
Sebenarnya
Riyanto sudah siap menjalani masa tuanya di Nusakambangan. Bahkan di dalam hati
ia sempat berkata: “… di sinilah kuburan saya kelak…” Namun ketika reformasi bergulir,
pemerintahan Habibie membebaskannya pada 16 Januari 1999 berdasarkan Kepres RI
No. 101/C Th. 1998 bertanggal 31 Desember 1998.
Berikut
petikan wawancara yang dilakukan relawan nahimunkar.com dengan
Haji Riyanto bin Suryadi. Wawancara berlangsung hari Rabu, 9 November 2011,
sebagai berikut:
Apa
yang membuat anda risau dengan pengungkapan kasus berdarah di masa lalu,
khususnya kasus Talangsari-Lampung yang terjadi pada Februari 1989?
Begini.
Membela hak asasi warga negara yang didzalimi memang sesuatu yang mulia.
Tetapi, menjadikan hal itu sebagai komoditas untuk menjaga eksistensi kelompok
atau lembaga, bahkan menjadikan hal itu sebagai salah satu sumber dana atau
penghasilan, jelas tercela.
Anda
menuduh…
Bukan
menuduh, tetapi berdasarkan fakta yang ada di sekitar saya sendiri. Saya
melihat sendiri ada diantara kawan-kawan seperjuangan yang semula berkoar-koar
berjihad, menentang Pancasila, melawan thagut, kini setelah bebas dari penjara
justru mengajukan tuntutan ganti rugi. Berjihad kok pamrih.
Hubungannya
dengan aktivis atau lembaga pegiat HAM?
Ditunggangi,
dimanfaatkan. Aktivis atau lembaga pegiat HAM itu sebenarnya punya agenda
tersendiri. Yang jelas, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri,
bukan untuk para pejuang labil ini.
Apa
agenda mereka?
Yang
jelas untuk menjaga eksistensi mereka, juga untuk mencari dana. Dan yang lebih
miris, menurut pandangan saya, dalam rangka menyegarkan memori publik bahwa
Islam lekat dengan kekerasan. Jadi, sedikitnya ada tiga hal yang mereka
peroleh. Yaitu popularitas dan eksistensi, dana, dan stigmatisasi terhadap
Islam. Itu mereka lakukan dengan dalih membela HAM. Yang jelas, bagi mereka
urusan popularitas dan duit lebih utama, meski harus menstigma
Islam.
Tapi,
mereka juga mengungkap kasus lain seperti Trisakti dan Semanggi (Mei 1998)?
Iya.
Tapi berbeda. Kasus Trisakti dan Semanggi layak dikategorikan pelanggaran HAM,
sedangkan kasus Lampung adalah perjuangan ideologis.
Pada
kasus Trisakti, sejumlah mahasiswa yang sedang berada di halaman kampus
ditembaki di bagian vital hingga tewas. Ini jelas pelanggaran HAM. Sedangkan
kasus Lampung, memang sejak awal diniatkan untuk memerangi sesuatu yang
dikategorikan sebagai thagut. Diniatkan sebagai jihad. Dalam jihad, tidak ada
istilah kalah. Meski mati ditembak, tetap menang di mata Allah. Insya Alah
demikian.
Para
pegiat HAM termasuk Komnas HAM tidak mau membedakan ini. Mereka menyamaratakan,
bukan karena berpihak kepada kemanusiaan khususnya umat Islam, tetapi, menurut
saya, untuk memberikan stigma kepada Islam dan umat Islam.
***
Menurut
penuturan Riyanto, ia sebenarnya termasuk yang tidak akan dibebaskan karena
dianggap telah membunuh prajurit TNI. Namun berkat kegigihan sejumlah aktivis
Islam dan rekan-rekan kasus Lampung yang telah lebih dulu bebas, akhirnya
Riyanto dibebaskan juga oleh Presiden Habibie. Sejumlah Jenderal diantaranya
Feisal Tanjung, Hendropriyono, Maulani, dan sebagainya turut meyakinkan Habibie
untuk membebaskan seluruh tapol-napol kasus Islam.
Melalui
blog pribadinya (riyantolampung.blog.com), Riyanto sempat mengungkapkan isi
hatinya, antara lain:
Kami
para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus
terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah
peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI
yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami yakini
kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa lalu
yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.
Para pelaku
Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di Talangsari tak perlu
diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus
itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM
dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikap hal ini. Tidak ada seorang
pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.
Seolah-olah
Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan
citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga ingatan
masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu
tetap hidup hingga kini. Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap demikian,
maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa terusik dengan
sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam
yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang
mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu
kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam
secara keseluruhan.
Sebagai
pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat
Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat
Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta orang). Namun karena ulah
yang segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda
(stigma) ini yang sedang dihidup-hidupkan oleh Komnas HAM?
***
Bagaimana
ceritanya sampai bisa tergabung ke dalam Jama’ah Warsidi di Talangsari-Lampung?
Sejak
masih di Jakarta saya sudah menjadi bagian dari sebuah gerakan pimpinan
Nurhidayat. Sedangkan Nurhidayat merupakan anak binaan dari Abdullah Sungkar
yang sempat hengkang ke Malaysia bersama Ba’asyir dan mendirikan Jama’ah
Islamiyah (JI).
Sekitar
akhir Januari 1989, saya diajak oleh rekan satu jama’ah bernama Muhammad Ali
alias Alex ke Talangsari. Alex tidak sendiri, tetapi bersama anak dan istrinya.
Tujuan utama, ya… mendirikan komunitas Islam yang dipersiapkan untuk melawan
thagut.
Setiba
di Talangsari-Lampung, kami aktif melakukan latihan beladiri, berlatih
menggunakan anak panah beracun dan bom molotov, sebagai persiapan berperang.
Ketika Kapten Soetiman menyambangi kami, oleh sebagian jama’ah dimanfaatkan
untuk mempraktekkan ilmu yang telah dimilikinya. Sehingga pecahlah perang tak
seimbang pada keesokan harinya. Kami kalah…
Jadi,
memang berniat untuk melawan kekuasaan dengan perang?
Ya.
Setelah
kalah…
Terima
kenyataan. Konsekuen dengan apa yang menjadi resiko perjuangan. Dipenjara atau
ditembak mati adalah bagian dari konsekuensi yang harus diterima. Sportif.
Berjiwa besar, kestaria. Jangan cengeng.
Apa
hikmah yang bisa Anda petik?
Menegakkan
kalimat Allah tidak bisa dibarengi dengan sikap arogan. Menegakkan kalimat
Allah harus hati-hati, jangan sampai terpeleset menjadi memfitnah Agama Allah,
menodai kesucian Islam dengan kekerasan yang dicari-cari dalil pembenarnya. (tede/nahimunkar.com)
Sumber:
http://nahimunkar.com/9383/berdalih-ham-untuk-menstigma-islam/
No comments:
Post a Comment