Kasus
Talangsari, Jama’ah Islamiyah dan Komnas HAM 01
Oleh RIYANTO (Mantan
Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
MUNGKIN sebagian orang masih belum bisa meyakini bahwa radikalisme yang
disandingkan dengan doktrin agama benar-benar faktual dan menjadi salah satu
cara sekelompok orang di dalam mencapai cita-citanya. Misalnya, tentang
keberadaan Al-Jama’ah Al-Islamiyah atau biasa disingkat JI. Terhadap keberadaan
JI ini, tidak hanya orang awam yang menyangsikan eksistensinya, tetapi juga
orang terhormat yang duduk di lembaga legislatif. Bahkan, Menkopolkam saat itu
(2002) menyangkal keberadaan JI di Indonesia. Menurut Menkopolkam, organisasi
JI keberadaannya hanya di Malaysia dan di Singapura; namun demikian tidak
tertutup kemungkinan ada beberapa orang Indonesia yang terlibat di dalam JI.
Fakta keberadaan JI sebenarnya sudah mulai terkuak sejak sebelum 2002,
setidaknya melalui tulisan Djohan Effendi pada harian Kompas edisi 7 November
2002. Melalui tulisannya berjudul Jamaah Islamiyah dan Abdullah Sungkar,
Djohan Efendi mengatakan bahwa Abdullah Sungkar dengan tegas pernah menyatakan
keberadaan Jamaah Islamiyah, melalui sebuah wawancara dengan majalah Nidaul
Islam edisi 17 yang terbit sektar Februari-Maret 1997.
Pada
kesempatan itu, Abdullah Sungkar menceritakan tentang keberadaan gerakan Jamaah
Islamiyah sebagai organisasi yang bercita-cita membangun Daulah Islamiyah
(Pemerintahan Islam), dan JI memiliki perbedaan yang jelas dibandingkan dengan
organisasi-organisasi Islam lainnya. Menurut Abdullah Sungkar, bila parpol dan
ormas Islam yang ada di Indonesia memilih jalan kooperatif dengan pemerintah,
maka JI bersikap nonkooperatif.
Menurut Abdullah Sungkar, JI bukanlah gerakan yang sama sekali baru,
karena embrio JI adalah gerakan DI/TII yang telah memproklamasikan Negara Islam
Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949. NII diproklamasikan selain untuk
menentang pemerintahan kafir Belanda juga untuk menentang rezim sekuler
Republik Indonesia. Menurut klaim Abdullah Sungkar, JI merupakan gerakan yang
berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah
melalui jalan jihad, sebagai kelanjutkan gerakan DI/TII. Upaya itu ditempuh
dengan membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan aqidah, kekuatan persaudaraan
dan kekuatan milisi. JI juga menerapkan strategi yang sama dengan DI/TII dalam mencapai
cita-citanya, yaitu Iman, Hijrah dan Jihad.
Kian hari, fakta keberadaan JI kian terkuak lebih meyakinkan, antara
lain melalui pengakuan mantan anggota JI sendiri. Pada bulan Juli 2005, Nasir
Abas meluncurkan buku berjudul Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan
Mantan Anggota JI yang diterbitkan oleh Penerbit Grafindo Khazanah
Ilmu, Jakarta. Nasir Abas adalah mantan petinggi JI dengan jabatan terakhir
sebagai Amir Mantiqi III (meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan,
Sulawesi, dan Filipina Selatan).
Melalui pengakuan Nasir Abas, fakta tentang keberadaan JI seharusnya tak
lagi bisa dibantah. Tidak hanya itu, pengakuan itu menunjukkan fakta lain
kepada masyarakat luas bahwa radikalisme yang disandingkan dengan doktrin agama
bukanlah tuduhan tanpa bukti. Dan fakta lain yang juga turut terungkap melalui
pengakuan Nasir Abas, adalah bahwa cita-cita mendirikan negara Islam
sebagaimana dipromotori oleh Kartosoewirjo tetap hidup di dalam benak sebagian
orang.
Yang juga turut terungkap melalui pengakuan Nasir Abas adalah kekeliruan
memahami dan memaknai jihad khususnya sebagaimana dipaparkan oleh Imam Samudera
yang sebelumnya telah lebih dulu meluncurkan sebuah buku berjudulAku Melawan
Teroris yang diterbitkan oleh Jazeera, Solo, Jawa Tengah,
pada September 2004.
Melalui bukunya, Nasir Abas antara lain menceritakan bahwa ia di tahun
1985 awal, berkenalan dengan sejumlah orang Indonesia, antara lain ustdaz Abdul
Halim dan ustadz Abdus Somad. Barulah setelah tiga belas tahun berselang, yaitu
di tahun 1998, Nasir Abas mengetahui nama sesungguhnya kedua ustadz tadi.
Ustadz Abdul Halim tak lain adalah nama alias dari Abdullah Sungkar. Sedangkan
ustadz Abdus Somad adalah nama alias dari Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya
merupakan tokoh Darul Islam (DI) atau NII yang hengkang ke Malaysia pada tahun
1985.
Di tahun 1993, menurut pengakuan Nasir Abas, Abdullah Sungkar memisahkan
diri dari NII faksi Ajengan Masduki. Maka sejak saat itulah (Januari 1993)
Abdullah Sungkar menjadi imam Al-Jamaah Al-Islamiyah. Di tahun 1999, Abdullah
Sungkar meninggal dunia di Bogor. Maka, pimpinan JI berada di tangan Abu Bakar
Ba’asyir yang selama ini menjadi orang kedua. Salah satu kewenangan amir JI adalah
melantik Ketua Mantiqi sebagaimana diatur dalam PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan
Al-Jamaah Al-Islamiyah). Nasir Abas dilantik oleh Abu Bakar Ba’asyir pada April
2001 sebagai Ketua Mantiqi III menggantikan Mustapha alias Abu Tolut alias
Hafid Ibrahim alias Pranata Yuda. Dari sini, sudah bisa disimpulkan bahwa Abu
Bakar Ba’asyir saat itu sudah menduduki kursi imam JI pasca meninggalnya
Abdullah Sungkar.
Abu Bakar Ba’asyir sendiri pada awalnya tidak menutup-nutupi
keterlibatannya di dalam JI. Terbukti, pada majalah Sabili No. 6 Th. VIII
bertanggal 6 September 2000, yang sudah beredar menjelang atau bersamaan
waktunya dengan pelaksanaan Kongres Mujahidin pertama. Secara khusus di halaman
45 tertera Biodata Abu Bakar Ba’asyir, yang pada kolom organisasi tertulis
beberapa hal seperti:
- Salah seorang pendiri Pondok Pesantren Ngruki (Solo)
- PII (1959-1963)
- LDMI (1965)
Ketika
itu Abu Bakar Ba’sayir memang belum resmi menjadi Amir Mujahidin (MMI). Sampai
akhirnya hasil Kongres Mujahidin pertama mengukuhkannya sebagai Amir Mujahidin.
Barulah
ketika Amerika Serikat mencanangkan war againts terorism pasca
tragedi WTC 11 September 2001, dan nama Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut
sebagai imam spiritual JI, dan JI diduga kuat mendalangi serangkaian kasus bom
di Indonesia, maka Ba’asyir pun mulai menyangkal keterlibatannya di dalam JI.
Bahkan proses hukum tidak dapat membuktikan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah
imam JI.
Bukan hanya Nasir Abas yang menguak keberadaan JI tetapi juga Farihin,
yang mengaku sebagai mantan aktivis JI dan pernah merakit bom di Cilacap, Jawa
Tengah, namun belum sempat digunakan. Kemunculan Farihin sebagai mantan aktivis
JI dapat dilihat melalui TVONE edisi 21 Juli 2009 pada acara Apakabar
Indonesia yang tayang sekitar jam 21.00 wib.
Sebelumnya, salah satu petinggi JI asal Kudus yaitu Abu Rusydan juga
sudah mulai membuka diri. Antara lain bisa dilihat pada majalah Risalah
Mujahidin edisi 24 (Dzulhijjah 1429H/Nov-Des 2008). Dalam buku Nasir Abas Membongkar
Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI sosok Abu Rusydan
mempunyai berbagai nama alias seperti Hamzah dan Ustadz Thoriqudin.
Jauh sebelum itu, menurut pemberitaan Kompas edisi Selasa 13 Januari
2004, Thoriquddin alias Abu Rusydan alias Hamzah mengakui bahwa di dalam
pertemuan Megamendung (Puncak, Jawa Barat) yang dilaksanakan sekitar April-Mei
2002 disepakati bahwa ia menjadi pelaksana harian tugas Amir JI, menggantikan
Abu Bakar Ba’asyir yang kala itu sibuk bergiat di Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI).
Pasca kasus peledakan di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton 17 Juli
2009 lalu, Abu Rusydan jadi lebih sering tampil di depan publik, antara lain di
TVONE dan di detikcom edisi Kamis 30 Juli 2009. Di detikcom ia ditanya soal
pengkaderan yang dilakukan Noordin M. Top. Detikcom menyebut Abu Rusydan
sebagai mantan petinggi Jamaah Islamiyah (JI).
Di
majalah Sabili No. 2 Th. XVII yang sudah beredar di Jakarta sejak 31 Juli 2009,
khususnya di halaman 16-21 Abu Rusydan ditampilkan dalam sebuah wawancara
khusus. Dengan jelas Sabili menuliskan identitas Abu Rusydan sebagai Tokoh
Jamaah Islamiyah. Salah satu materi pertanyaan Sabili kepada Abu Rusydan adalah
“Jadi apa jabatan Anda sekarang?” Pertanyaan itu dijawab dengan untaian kalimat
yang menegaskan bahwa JI itu faktual dan Abu Rusydan masih tokoh JI: “Yang
penting bagi saya, konsumsi media beda dengan konsumsi kepolisian. Kalau Polisi
sudah tahu. Tapi, yang jelas saya bukan mantan. Karena JI itu bukan sesuatu
yang buruk sehingga harus saya tinggalkan.”
Sabili juga menanyakan keada Abu Rusydan hubungan JI dengan Jamaah
Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir yang sebelumnya pernah
menjabat sebagai Amir Majelis Mujahidin. Menurut Abu Rusydan, pemikiran dasar
JI dan JAT tidak ada perbedaan, sama-sama mengambil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. “Adapun ekspresi dan aksi itu adalah ruang-ruang pilihan. Itu berdasarkan
pengalaman. Kalau sudah masuk gerakan itu soal kepercayaan.” Demikian
penjelasan Abu Rusydan kepada Sabili.
Berdasarkan data-data di atas, jelaslah bahwa keberadaan JI adalah
nyata, bukan sebuah wacana belaka. Sebagai organisasi bawah tanah atau tanzim
sirri, tentunya JI tidak punya alamat lengkap dengan nomor RT dan RW
segala. Hanya orang bodoh yang meminta pembuktian keberadaan JI melalui
kelengkapan domisili sebagaimana layaknya sebuah organisasi berbadan hukum.
Hubungan Talangsari dengan JI
Lalu,
apa hubungan antara kasus Talangsari (Lampung) dengan JI (Jamaah Islamiyah)?
Keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Sebagaimana disebutkan di atas, Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang
ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan
membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989,
ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski
secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan
pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah
Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku
kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini.
Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada
tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga
anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul
Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah
Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada
tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih
kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat
sebagai Ketua Mantiqi II.
Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi
anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah,
Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan
aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).
Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari,
sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok
Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok
Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama
Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam,
Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian
yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi.
Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui
dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR
Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring
Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya
Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi
semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola
Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia
sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan
sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin
AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten
Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang
disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24
Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari
bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin
kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu
meledak (7-8 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk
hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir
Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan
pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di
kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat
mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh
empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah
kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah
pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi
masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi
masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus
Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai
Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan
mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu
pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris
Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah
Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989).
Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang
disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI,
juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan negara
ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya
sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera
ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah
basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme
berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit
atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini,
radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom
bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton
pada 17 Juli 2009.
Komnas HAM Menstigma Islam?
Sejak
radikalisme Talangsari ala Warsidi dibungkam, praktis sekitar satu dasawarsa
kemudian radikalisme –terutama yang ditandai sebagai ekstrim kanan– tidak
pernah muncul ke permukaan. Artinya, penumpasan gerakan radikal Talangsari yang
dimotori oleh anak asuh Abdullah Sungkar –atau mereka yang pernah menjadi
anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar– ternyata cukup efektif mengamankan
wilayah Indonesia dari aksi serupa setidaknya untuk masa sekitar satu dasawarsa
ke depan.
Menjaga keutuhan NKRI lebih penting dibandingkan dengan segalanya,
termasuk adanya kemungkinan kesalahan tehnis di dalam penanganan gerakan
radikal dalam bentuk apapun juga. Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh para
pegiat HAM. Jangan hanya mencari-cari kesalahan tehnis dari upaya konstruktif
mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman perbuatan radikal, dengan alasan
HAM.
Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian
jujur dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan
radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara
kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu
itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai
lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan
menyakitkan.
Para
pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di Talangsari
tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan
kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan
narasumber. Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikap hal
ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu
yang penuh kegetiran.
Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus
menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan
radikalisme. Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga
ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di
masa lalu tetap hidup hingga kini. Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap
demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa
terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian
umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai
lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan
kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap
Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu
telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari
umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta orang). Namun karena ulah yang
segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda
(stigma) ini yang sedang dihidup-hdupkan oleh Komnas HAM?
Komnas HAM Membela Pelaku Makar?
Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Saiful Sulun mantan Pangdam Brawijaya
dan mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum
Komunikasi Punawirawan TNI/Polri pernah mengatakan, kepentingan politis di
balik upaya pengusutan kembali kasus Talangsari oleh Komnas HAM lebih kental
dibanding keinginan menyelesaikan kasus tersebut. (Rakyat Merdeka, 6 Maret
2008).
Tidak hanya Saiful Sulun, salah seorang pelaku kasus Talangsari,
Fadillah, yang juga pernah menjadi bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar
pernah mengatakan, “…kami merasa direndahkan, jika kasus Talangsari disebut
sebagai pelanggaran HAM.” Pernyataan itu disampaikan Fadillah saat diwawancarai
harian Rakyat Merdeka 16 Juli 2007. Ketika itu Fadillah beralasan, “Kami ini
pejuang. Kasus Talangsari itu bukan pelanggaran HAM, tapi perang antara aparat
pemerintah dengan kami sebagai mujahidin yang ingin mendirikan hukum Islam
dengan cara apapun dan risiko apapun. Saat itu, kami berkeyakinan, mati adalah
syahid, kalau ditawan adalah ujian. Tidak ada kata-kata pelanggaran. Mana ada
aktivis DI yang teriak-teriak minta pengusutan pelanggaran HAM termasuk minta
kompensasi, tidak ada karena memang itulah prinsip utamanya kita berjuang.”
Upaya Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk mengungkap kembali kasus
Talangsari, menurut Fadillah itu merupakan kebijakan yang tidak perlu. Karena,
menurut Fadillah, “…saya dan teman-teman sudah tentram, nggak mau diributkan.
Komnas HAM nggak perlu repot-repot memulihkan nama baik saya, karena saya
sendiri bisa menyelesaikannya. Saya juga heran, bukankah Komnas HAM sudah
menutup kasus ini karena tidak ditemukan ada pelanggaran HAM. Kenapa sekarang
dibuka lagi? Kita nggak mau kasus Talangsari dijadikan komoditas politik. Kalau
ini yang terjadi, saya khawatir, Komnas HAM yang merupakan lembaga terhormat
akan menjadi kurang berbobot.”
Penilaian Fadillah terhadap Komnas HAM nampaknya memang beralasan,
karena dalam prakteknya Komnas HAM telah menjadikan korban dan saksi gadungan
sebagai narasumber penyelidikannya. Sebagaimana dikatakan Sudarsono, mantan
pelaku kasus Talangsari, saksi-saksi yang dimintai keterangan Komnas HAM itu
ngawur dan direkayasa. Sebab, orang-orang yang dimintai keterangan banyak yang
tidak pernah terlibat dan (tidak) mengetahui kejadian sebenarnya. Mereka,
menurut Sudarsono, adalah anak-anak mantan pejuang Talangsari dan anak-anak
petani yang tidak mengerti sejarah perjuangan NII sama sekali.
Upaya Komnas HAM kala itu
(2007) untuk mengungkap kembali kasus Talangsari dinilai Fadilah dan Sudarsono
sebagai langkah yang mengherankan, mengingat di tahun 2000, BN Marbun SH yang
kala itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas
HAM pernah melayangkan sepucuk surat kepada Fauzi Isman. Surat bertanggal 26
April 2000 itu justru meminta agar Fauzi kembali berkoordinasi dengan
teman-temannya yang pernah sama-sama menempuh jalur islah untuk kasus
Talangsari.
Surat BN Marbun kepada
Fauzi Isman selaku aktivis Koramil (Korban Kekerasan
Militer) yang saat itu beralamat di jalan Cipinang Cempedak IV No. 5 Jakarta,
merupakan balasan atas pengaduan Fauzi Isman pada 20 Maret 2000 tentang kasus
Talangsari. Pengaduan Fauzi Isman itu kemudian mendapat perlawanan dari
Sudarsono yang bersama-sama Fauzi pernah mencanangkan Gerakan Islah Nasional.
Ketika sebagian pelaku
kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan, Fauzi Isman telah lebih dulu
menggulirkan dan menggerakkan konsep islah. Bahkan dari ishlah yang
digulirkannya itu, Fauzi banyak memperoleh keuntungan materi. Setelah cukup
banyak menggerogoti Hendropriyono, dorongan sifat tamaknya mulai menonjol.
Maka, ia berbalik arah melawan konsep islah yang pernah ia gulirkan sendiri
bersama Sudarsono dan Nur Hidayat.
Koramil berdiri tahun
1998, dengan Nur Hidayat sebagai koordinatornya, sebelum akhirnya Koramil
dikomandoi Fauzi. Salah satu kegiatan Koramil adalah menemui Komnas HAM untuk
mengungkap kasus Talangsari. Mereka inilah yang mendorong-dorong Komnas HAM
mengusut kasus Talangsari. Padahal sebelumnya mereka juga yang menggulirkan
konsep ishlah ketika pelaku kasus Talangsari masih mendekam di Nusakambangan.
Bila Komnas HAM dan juga Kontras mau mengusut kasus Talangsari berdasarkan
pengaduan para petualang politik yang mengatasnamakan agama, betapa tidak
profesionalnya Komnas HAM, betapa tidak profesionalnya Kontras. Betapa tidak
berbobotnya Komnas HAM, betapa tidak berbobotnya Kontras.
Sebab, Komnas HAM dan
Kontras didorong-dorong mengungkap kasus Talangsari, yang dimotori oleh oknum
tadi sebagai penyebabnya. Kemudian ketika aparat menghabisi gerakan radikal
Talangsari, oknum tadi tidak ikut berdarah-darah di Talangsari, tetapi tetap
berada d Jakarta. Ketika pelaku Talangsari masih mendekam di Nusakambangan,
oknum tadi justru merangkai gerakan islah. Ketika sifat tamaknya tidak dapat
tersalurkan dengan baik, maka mereka pun kembali meminta kasus Talangsari
diungkap. Betapa bodohnya Komnas HAM dan Kontras mau mengikuti oknum berjiwa
labil yang hanya menuruti hawa nafsunya sendiri, namun mengatasnamakan agama
tertentu.
Kasus Talangsari adalah
serpihan gerakan makar Darul Islam (DI/TII). Kalau kasus Talangsari (1989) yang
tergolong makar dapat diungkap kembali atas nama HAM, maka pemberantasan
gerakan DI/TII di masa lampau (1960-an) pun dapat diungkap kembali atas nama
HAM. Begitu juga dengan kasus makar lainnya, dapat diungkap lagi atas nama HAM.
Apakah ini yang dimaui Komnas HAM? Padahal, makar adalah gerakan melawan
negara. Sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga
negara, Komnas HAM seharusnya berpihak kepada kepentingan negara, bukan kepada
sekelompok orang yang jelas-jelas menurut pengakuannya sendiri telah bermaksud
melawan negara.
Sumber:
No comments:
Post a Comment