KASUS
TALANGSARI
Oleh RIYANTO (Mantan
Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
KALAU saja saya tidak
ditugaskan oleh Warsidi membebaskan anggota jamaah kami yang ditangkap aparat,
boleh jadi saya sudah tewas di Talangsari ketika aparat Korem Garuda Hitam
mendatangi Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan
Way Jepara, Lampung Tengah, tempat komunitas Warsidi berada, untuk menjemput
jenazah Kapten Soetiman yang tewas dibunuh mbah Marsudi (kakak Warsidi) pada
hari sebelumnya.
Warsidi dan Talangsari
adalah dua hal yang takkan pernah terlupakan sepanjang hidup saya. Warsidi
merupakan salah satu dari sekian banyak orang Jawa yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari Lampung. Sejak sebelum kemerdekaan, sekitar tahun 1937,
Warsidi sudah mengikuti orangtuanya ke Lampung, tepatnya di kecamatan
Batanghari. Barulah sejak Juni 1988 Warsidi bersama isterinya menetap di
pedukuhan Cihideung yang merupakan bagian dari Dusun Talangsari III yang baru
diresmikan sejak 1 Januari 1988.
Warsidi sebenarnya sosok
yang santun, paham keagamaannya juga biasa-biasa saja. Namun, ia banyak
bersentuhan dengan berbagai kalangan. Misalnya, sebagaimana pernah diungkap
majalah Editor edisi 25 Februari 1989, Warsidi sempat berguru kepada seseorang
bernama Anwar, pendiri Jamaah Darul Hadist yang kelak berganti nama menjadi
Islam Jamaah dan berganti lagi menjadi Lemkari hingga akhirnya menjadi LDII
(Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia), yang pernah difatwa sesat oleh MUI
(Majelis Ulama Indonesia).
Kelompok ini berpaham
ekstrem, sebagaimana bisa dinilai dari sejumlah pidato Anwar sang pendiri
Jamaah Darul Hadits untuk kecamatan Batanghari, Lampung Tengah, yang selalu
mengkritik pemerintah. Ketika Warsidi pindah ke Kecamatan Way Jepara, khususnya
di pedukuhan Cihideung, pemahaman ekstrem itu tetap dibawanya.
Di Cihideung, Warsidi
bersentuhan dengan Ir Usman, sarjana tehnik lulusan Universitas Gajah Mada yang
pernah menjadi tenaga pengajar di ponpes Al-Islam di Desa Labuhan Ratu (Way
Jepara) pimpinan KH Djunaidi yang juga dikenal cukup baik oleh Warsidi. Ponpes
Al-Islam berjarak sekitar limabelas kilometer dari pemukiman komunitas Warsidi
di Cihideung. Melalui Usman inilah Warsidi mulai mengenal konsep Iman, Hijrah
dan Jihad ala Kartosoewirjo (proklamator Negara Islam Indonesia), yang juga
dilanjutkan oleh Abdullah Sungkar semasa masih menjadi bagian dari NII maupun
sesudahnya.
Karena ada
kekurangharmonisan antara Usman dengan KH Djunaidi, maka Usman pun hengkang ke
Cihideung, bergabung menjadi bagian dari komunitas Warsidi. Menurut catatan,
beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus, Usman menghilang beserta
isteri dan putranya yang baru lahir. Ia juga membawa serta sekitar sepuluh orang
santri yang masih tergolong anak-anak namun sudah diajari memanah.
Selain bersentuhan dengan
Anwar dan Usman, Warsidi juga bersentuhan dengan Zainal Arifin bin M. Amin,
seorang aktivis NII Lampung. Ketika itu (1974-1978) Zainal Arifin menjabat
sebagai sekretaris NII Lampung, sedangkan Ketua (Gubernur) NII Lampung adalah
Abdul Kadir Barodja dan Wakilnya adalah Farid Ghozali. Di tahun 1985, Abdul
Kadir Barodja diduga terlibat kasus peledakan Candi Borobudur.
Sehari-hari Zainal
berjualan jahe gajah sambil berdakwah. Ketika ia sedang berdakwah di Umbul Mas
(Lampung Tengah), ia bertemu dengan Warsidi bahkan sempat bermalam di kediaman
Warsidi (1987). Di tempat Warsidi, Zainal bertemu dengan salah seorang aktivis
NII dari Jakarta bernama Purson, yang juga merupakan teman dekat Abdul Kadir
Barodja.
Keberadaan Warsidi dan
dukuh Cihideung kian dikenal di kalangan pergerakan Islam, terutama komunitas
DI/TII (NII) termasuk komunitas DI/TII (NII) yang berada di Jakarta dan Jawa
pada umumnya. Ini semua berkat kemampuan Usman menjalin komunikasi dengan dunia
di luar Cihideung, sesuatu yang tidak dimiliki Warsidi tentunya. Usman
mempromosikan keberadaan cihideung sebagai lokasi yang layak untuk dijadikan
tempat berhijrah dalam rangka mewujudkan jihad. Salah satu daya tarik Cihideung
adalah karena letaknya yang relatif dekat dari Jakarta. Cihideung menjadi
tempat yang cocok untuk menerapkan konsep Iman, Hijrah, dan Jihad ala
Kartosoewirjo dan para pengikutnya saat itu.
Promosi gethok
tular alias dari mulut ke mulut itu pun akhirnya hinggap ke telinga
empat aktivis dari Jakarta, yaitu Nur Hidayat, Sudarsono, Fauzi Isman, dan
Wahidin. Setidaknya pada bulan Oktober 1988, Nurhidayat mendapat informasi
tentang keberadaan sebuah kelompok pengajian yang memiliki tanah seluas 1,5
hektar di dukuh Cihideung, Lampung, yang dipimpin oleh Warsidi. Tak perlu waktu
lama, Nur Hidayat pun mengutus Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan untuk berangkat
ke Lampung guna menemui Warsidi dalam rangka konfirmasi, dan bila memungkinkan
menawarkan kerjasama membangun perkampungan muslim.
Tak berapa lama,
kunjungan itu mendapat balasan dari kelompok Cihideung. Bertempat di rumah
kontrakan Sudarsono, di Jakarta, masih di bulan Oktober 1988, digelar pertemuan
antara kelompok Jakarta dengan utusan dari Lampung (utusan Warsidi). Utusan
dari Lampung diwakili oleh Ir. Usman, Umar, Heri dan Abdullah (Dullah).
Intinya, tawaran kelompok Jakarta dapat diterima oleh kelompok Lampung
(Warsidi), yaitu membentuk perkampungan muslim (Islamic Village) di Cihideng.
Sekitar dua bulan
kemudian, diadakan pertemuan Cibinong pada tanggal 12 Desember 1988 untuk
memantapkan rencana membentuk perkampungan muslim di Cihideng. Melalui
pertemuan Cibinong ini disepakati pembentukan Dewan Amir (pimpinan bagi para
jamaah mujahiddin), dan Nur Hidayat dipilih sebagai Amir Musafir. Selain itu,
ditetapkan sebuah nama yaitu Front Komando Mujahiddin Fisabilillah sebagai nama
gerakan yang di dalamnya memiliki pasukan khusus. Kepada anggota pasukan khusus
diprogramkan mendapat pembinaan berupa bela diri serta keterampilan memanah.
Mereka memang disiapkan untuk menghadapi musuh di medan perang.
Saat itu juga, Nur
Hidayat sebagai Amir Musyafir dilantik oleh Dewan Amir. Tugas Amir Musyafir adalah
menjalankan program hijrah bagi para jama’ah di Jakarta dan Jawa yang akan
hijrah ke Cihideung. Selain Nur Hidayat yang mempunyai hak prerogatif
merekomendasikan calon muhajirin ke Cihideng adalah Sudarsono dan Fauzi Isman.
Sebagai tindak lanjut pertemuan
Cibinong, Nur Hidayat bersama Fauzi Isman berangkat ke Cihideung untuk
melakukan pembicaraan secara langsung dengan Warsidi (pimpinan jama’ah
Cihideung, Talangsari). Dan, gayung pun bersambut. Ketika itu Warsidi menerima
hasil keputusan pertemuan Cibinong 12 Desember 1988 yang menetapkan Cihideung
sebagai basis perjuangan (jihad). Gagasan membangun basis perjuangan antara
lain direalisasikan dengan membekali pasukan dengan latihan memanah dan bela
diri silat yang dipimpin oleh Dullah. Pembekalan itu ditujukan untuk memerangi
kaum kafir, yaitu semua orang yang bukan jama’ah Warsidi.
Salah satu kesepakatan
yang telah dijalin adalah Jamaah Warsidi di Cihideung bersedia menjadi “kaum
Anshor” bagi para Muhajirin dari Jakarta dan Jawa, sedangkan pedukuhan Cihideung
diposisikan sebagai “Madinah” yang harus dipertahankan sampai titik darah
penghabisan.
Selain itu, juga
disepakati pemberlakuan sejumlah doktrin kepada calon muhajirin.Pertama, mentakfirkan
selain anggota jamaahnya. Siapa saja yang tidak mengikuti hukum Allah maka ia
atau mereka tergolong kafir. Termasuk, para ulama yang menghalangi mereka dalam
menegakkan hukum Allah, terolong kafir dan halal darahnya. Kedua, menolak
Pancasila sebagai azas. Alasannya, pemerintah dengan Pancasilanya telah menjauhkan
umat dari perilaku Islami. Ketiga, puasa selang-seling selama
40 hari, membaca wirid dan sholat malam berjama’ah supaya jiwanya siap menjadi
syahid. Bagi yang mampu menyelesaikan ketiga doktrin tadi, maka ia layak
emperoleh rekomendari dari Nurhidayat untuk hijrah ke Cihideung bergabung
dengan Warsidi.
Warsidi sendiri, setelah
bersentuhan dengan aktivis dari Jakarta, menjadi kian vokal, misalnya dalam
setiap khotbahnya Warsidi menebarkan permusuhan: pemerintah divonis kafir, dan
Pancasila adalah berhala. Semangat mendirikan Negara Islam sudah semakin tegas
terlihat. Penolakan Warsidi terhadap keberadaan pemerintahan Soeharto (Orde
Baru) kala itu, diwujudkan dengan menolak membayar pajak, menolak mengantongi
Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Para ‘muhajirin’ dari
Jawa dan daerah lainnya, yang sepaham dengan Warsidi, merasa tidak perlu
mengikuti prosedur administrasi kependudukan yang berlaku karena prosedur itu
dibuat oleh pemerintahan kafir. Oleh karenanya, mereka tidak melaporkan diri ke
aparat setempat atas kedatangannya ke dukuh Cihideung. Jumlah para ‘muhajirin’
ini setiap hari kian bertambah, sehingga menimbulkan tanda tanya di dalam diri
Sukidi.
Kedatangan para
‘muhajirin’ yang tiba-tiba dalam jumlah relatif besar (sekitar 100 jiwa),
ternyata tidak diimbangi dengan kesiapan logistik: sandang, pangan, papan.
Sehingga, terjadilah ‘pencurian’ singkong milik warga sekitar, berumpun bambu,
dan berbutir kelapa. Para ‘muhajirin’ ini merasa berhak atas itu semua, karena
semua itu pada dasarnya milik Allah, dan Allah mewariskan bumi dan segala
isinya bagi orang-orang saleh, dan yang dimaksud dengan orang-orang saleh
adalah kelompok mereka sendiri.
Tak cuma itu, sejumlah
anak buah Warsidi pernah mendatangi Sukidi dengan membawa-bawa golok dan pedang,
seolah-olah menantang perang. Maka, masyarakat pun menjadi tak tenang, resah
dan ketakutan. Akibatnya, sebagian dari warga pun mengungsi meski harus
meninggalkan harta-benda miliknya. Tak ketinggalan Sukidi dan keluarganya yang
memutuskan pindah ke dusun lain, untuk menjauh dari teror yang dilancarkan
jamaah Warsidi.
Meski begitu, Sukidi
tidak tinggal diam. Sebagai Kepala Dusun, semua itu ia laporkan kepada
atasannya, Amir Puspa Mega, Kepala Desa Rajabasa Lama, pada tanggal 11 Januari
1989. Berdasarkan laporan Sukidi itu, Amir Puspa Mega mengirimkan sepucuk surat
kepada Zulkifli Maliki, Camat Way Jepara, pada tangal 12 Januari 1989.
Hari itu juga, Camat Way
Jepara Zulkifli Maliki menyurati Warsidi dan Jayus, juga Amir Puspa Mega dan
Sukidi. Surat Camat diterima Warsidi sore hari, yang langsung dibalasnya
beberapa menit setelah dibaca. Isinya:
Dengan hormat,
Bahwa surat yang kami
terima, sudah kami ketahui isinya.
Perlu diketahui kami dalam
kesibukan, dalam mengisi pengajian di berbagai tempat.
Oleh sebab itu kami tidak
bisa datang ke Kantor Bapak.
Kami sebagai orang Islam
yang sangat menjunjung tinggi Sunnatulloh dan
Sunnaturrosul dalam sebuah
Hadist dikatakan:
Sebaik-baiknya Umaro ialah
yang mendatangi Ulama dan seburuk-buruknya Ulama
yang mendatangi Umaro.
Oleh karenanya kami
mengharap kedatangan Bapak di tempat kami untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya.
Demikian harap maklum…
Semoga Allah memberi
hidayahNya.
Jadi, Warsidi telah
memposisikan dirinya sebagai ulama yang seharusnya didatangi oleh umaro.
Untuk memenuhi undangan
Warsidi, esok harinya 13 Januari 1989 menjelang Ashar sekitar pukul 15:00 waktu
setempat, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki bersama Kepala Desa Rajabasa Lama,
Kepala Desa Labuhan Ratu, Kepala Dusun Talangsari III, Kepala Dusun Kelahang
dan beberapa staf tiba di kediaman Warsidi.
Pertemuan yang
berlangsung di rumah panggung selama satu jam itu, terasa menegangkan dan tidak
bersahabat. Ketika itu, ada sekitar 30 orang di dalamnya. Zulkifli Maliki
sempat mendengar seseorang berbisik: “Bunuh saja Camat itu”. Suara itu datang
dari arah belakang.
Mengakhiri pertemuan itu,
menjelang pamit, Zulkifli mengundang Warsidi untuk menemuinya di kantor Camat.
Ketika itu Warsidi berjanji akan memenuhi undangan tersebut, Sabtu, 14 Januari
1989. Namun hingga akhir hayatnya Warsidi tak kunjung datang.
Dua minggu kemudian, 27
Januari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki melaporkan hal ini kepada Kapten
Soetiman Komandan Koramil Way Jepara. Esok harinya, sepucuk surat dilayangkan
Kapten Soetiman kepada Warsidi, untuk segera memenuhi panggilan Camat, paling
lambat 1 Februari 1989.
Tanggal 1 Februari 1989,
Warsidi tak juga datang. Malah menurut pantauan Lurah Rajabasa Lama Amir Puspa
Mega, Warsidi dan anak buahnya melakukan kegiatan tak lazim, seperti belajar
memanah, latihan beladiri, dan merakit bahan peledak dari botol bekas minuman
anggur. Nampaknya mereka sedang menyiapkan genderang perang untuk ditabuh.
Esok harinya, 2 Februari
1989, Kepala Dusun Talang Sari III Sukidi menyelinap mendekat lokasi. Dari
balik semak, ia melihat kejanggalan: ada sejumlah anak muda dibalut pangsi
hitam dengan ikat kepala, bersenjata pedang, celurit, golok, dan panah.
Nampaknya, genderang perang sudah semakin siap ditabuh. Sukidi pun melaporkan
temuannya kepada Komandan Koramil Kapten Soetiman.
Pada 5 Februari 1989,
Soetiman memerintahkan Serma Dahlan dan Kopda Rahman mendekati lokasi. Malam
hari sekitar pukul 23.30, keduanya mencurigai dan menangkap 6 pemuda tanggung.
Dari mereka, disita sekarung anak panah, 5 bilah golok, 2 bilah pedang, dan 2
paket bom molotov. Mereka terdiri dari: Usman, Muhdi, Mursyidin, Mundiman,
Abdurrahman, dan Hardiwan. Seorang lagi benama Sadar alias Joko –kakak kandung
Jayus alias Dayat bin Karmo yang kala itu berusia sekitar 40 tahun– berhasil
melarikan diri sebelum sempat dibawa. Sedangkan Usman berhasil melarikan diri
di tengah jalan dalam perjalanan menuju Koramil. Ditemukannya sejumlah
perlengkapan perang seperti anak panah hingga bom molotov, menunjukkan bahwa rencana
perang memang sudah sedemikian serius.
Dini hari tanggal 6
Februari, Warsidi mendapat kabar tertangkapnya 5 orang jamaahnya. Tak buang
tempo, pada dini hari itu juga, sekitar jam 02:00 wib, Warsidi memerintahkan
sejumlah orang untuk membebaskan 5 orang jamaahnya yang katanya ditahan di
Koramil Way Jepara, padahal sebenarnya masih berada di rumah Sukidi (Kepala
Dukuh Talangsari III). Pasukan khusus yang bertugas membebaskan 5 jamaah
Warsidi ini adalah pasukan terlatih berjumlah sekitar 12 orang, dengan
persiapan perang yaitu membawa golok, panah, dan bahan peledak. Mereka tiba di
Koramil Way Jepara sekitar pukul 6:00 pagi. Namun dikabarkan, bahwa tahanan 5
jamaah Warsidi sudah dikirim ke Kodim Metro. Upaya pembebasan ini gagal.
Pasukan Khusus di bawah pimpinan Riyanto ini pun menuju Sidorejo untuk mengatur
strategi penyerangan di Bandar Lampung. Mereka tiba di Sidorejo jam 08:00 pagi.
Di Sidorejo, mereka kumpul-kumpul, makan dan shalat dzuhur di rumah pak
Zamzuri.
Siang itu Saya (Riyanto)
mengutus Fadilah ke Cihideung untuk minta petunjuk dari Warsidi mengenai
langkah selanjutnya. Fadilah tiba di Cihideung sekitar jam 14:00 wib, pasca
kejadian tewasnya Kapten Soetiman.
Tanggal 6 Februari 1989
siang, sebelum Fadilah tiba, Kapten Inf. Soetiman bersama rombongannya
mendatangi Talangsari, dengan maksud melakukan klarifikasi atas ketidak-hadiran
Warsidi memenuhi panggilan Camat serta Danramil. Klarifikasi ini disangka
sebagai sebuah “serangan”.
Karena, kedatangan
rombongan Kapten Soetiman yang bertepatan dengan saat shalat Dzuhur itu,
diawali dengan adanya suara tembakan. Sebagian jama’ah Warsidi yang ketika itu
baru saja menunaikan shalat Dzuhur, ketika mendengar suara letusan senjata itu
langsung berhamburan “menjemput” rombongan Kapten Soetiman, dibarengi dengan
teriakan Allahu Akbar, takbir yang susul-menyusul, juga lesatan anak panah dari
balik semak yang mengarah ke tubuh Soetiman.
Puluhan anak buah Warsidi
lainnya berhamburan keluar dari rumah-rumah bambu sambil mengacungkan berbagai
senjata, menyerang rombongan Kapten Soetiman. Mayor Sinaga dengan sigap
memerintahkan mundur. Seketika itu, kendaraan Sinaga berbelok arah dengan
menerjang pepohonan, meninggalkan lokasi. Berbeda dengan Sinaga yang selamat,
Kapten Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah Warsidi yang tengah kesetanan.
Ia dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan lehernya ditebas sampai tewas
oleh mbah Marsudi.
Kalau saja Mayor Sinaga
tidak sigap memerintahkan mundur, mungkin akan banyak korban yang jatuh, tidak
hanya Kapten Soetiman. Ketika itu, selain Mayor Sinaga dan Kapten Soetiman,
rombongan terdiri dari Dul Bakar (Kapolsek Way Jepara), Amir Puspa Mega (Kepala
Desa Rajabasa Lama), Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), Dahlan (Kepala Tata Usaha
Koramil), Drs. Zulkifli Maliki (Camat Way Jepara), Polisi Pamong Praja, dan
seorang personil KUA (Kantor Urusan Agama).
Jenazah Kapten Soetiman
kemudian dikuburkan ba’da Ashar di lokasi tempat kejadian. Persisnya di jalan
menuju ke Hujan Mas.
Satu pucuk pistol jenis
FN dan dua unit sepeda motor yang tertinggal di lokasi karena ditinggal kabur
oleh rombongan Mayor Sinaga, akhirnya diambil alih jama’ah Warsidi.
Pasca pertempuran,
kira-kira sore hingga ba’da Maghrib, terjadi eksodus besar-besaran. Jumlahnya
mencapai puluhan orang. Mereka meninggalkan lokasi untuk menuju ke berbagai
tempat seperti Jakarta dan berbagai daerah di Sumatera Selatan. Sehingga
jama’ah Warsidi yang tertinggal saat itu hanya 58 jiwa (termasuk wanita dan
anak-anak).
Pasca terbunuhnya Kapten
Soetiman, 6 Februari 1989, sore hari sekitar jam 17:00 wib Fadillah kembali ke
Sidorejo, dengan membawa perintah dari Warsidi untuk membuat kekacauan di
Tanjung Karang, dalam rangka mengalihkan perhatian aparat pasca terbunuhnya
Kapten Soetiman.
Perintah Warsidi tersebut
disampaikan Fadillah kepada Komandan Pasukan Khusus, yang langsung membuka
forum musyawarah di antara sesama anggota pasukan khusus (12 orang), pak
Zamzuri (tuan rumah) dan pak Sudiono (almarhum), juga beberapa anggota jamaah
pengajian yang dibina pak Zamzuri.
Ba’da Maghrib perintah
tersebut mulai dilaksanakan. Dari Sidorejo tiga orang berangkat menuju Simpang
Sri Bawono untuk mencarter colt angkutan umum. Setelah memperoleh colt carteran
(namun pada akhirnya tidak dibayar sama sekali), ketiganya kembali ke Sidorejo
untuk menjemput anggota pasukan khusus lainnya yang masih siaga di rumah
Zamzuri. Kesebelas anggota pasukan khusus ini berangkat (minus Sony yang tetap
tinggal di Sidorejo) ke Tanjung Karang untuk melaksanakan perintah Warsidi.
Di tengah jalan, Pratu
Budi Waluyo, personel TNI dari Batalyon 143 Garuda Hitam mendesak ikut colt
Wasis yang sudah dicarter ini, untuk menuju Tanjung Karang.
Selama perjalanan menuju
Tanjung Karang, terjadi dialog antara 11 angggota pasukan khusus Warsidi dengan
Pratu Budi Waluyo. Dari dialog itulah diketahui, bahwa Pratu Budi Waluyo besok
(7 Februari 1989) akan ikut melakukan penyerangan ke Cihideung. Mengetahui hal
ini, Komandan pasukan khusus berinisiatif menghabisi Pratu Budi Waluyo dengan
mendapat bantuan dari anggota pasukan lainnya. Pratu Budi Waluyo dihujani
tusukan hingga tewas.
Sopir (bernama Sabrawi)
dan kenek angkutan umum yang melihat kejadian ini, sudah masuk dalam rencana
untuk dibunuh oleh jama’ah Warsidi. Namun berhasil melarikan diri dalam keadaan
luka parah. Sopir dan kenek yang berhasil lolos dari maut inilah yang kemudian
melaporkan kejadian berdarah dan perampasan colt kepada kawan-kawan sesama
sopir, juga kepada Polisi.
Karena sopir dan kenek
melarikan diri, kemudi diambil alih oleh Sugeng Yulianto, dan melanjutkan
perjalanan ke Tanjung Karang. Di Tanjung Karang, sebelum melakukan aksi,
diputuskan untuk mengisi bahan bakar dulu di pom bensin. Sialnya, lampu mobil
mati, sehingga tidak layak untuk tetap digunakan dalam melakukan aksi ke Polres
Tanjung Karang dan Korem Garuda Hitam. Karena dikhawatirkan, dalam keadaan
lampu mobil yang tidak hidup, di tengah jalan keburu kena tilang atau ditangkap
polantas. Akhirnya rencana serangan ke Polres Tanjung Karang dan Korem Garuda Hitam
gagal dilaksanakan. Sasaran dipindahkan ke kantor Lampung Post. Di kantor
Lampung Post, Komandan melemparkan bom molotov, namun tidak berhasil meledak.
Setelah gagal meledakkan
kantor Lampung Post, pasukan melanjutkan perjalanan ke Metro Lampung. Di tengah
jalan ada razia polantas. Kendaraan distop oleh polantas, namun Sugeng Yulianto
menolak, malahan polantas tadi ditabrak hingga pingsan, setelah sebelumnya
berusaha meloncat untuk menghindari serudukan colt yang dikemudikan Sugeng.
Setelah menyeruduk
polantas, diputuskan untuk menyembunyikan mobil ke hutan Tigeneneng
(Tegineeng). Namun belum sampai disembunyikan, mobil telah lebih dulu
terperosok ke dalam parit sehingga harus ditinggalkan. Pasukan berjumlah 11
orang ini pun masuk ke dalam hutan Tigeneneng (Tegineeng), bersembunyi hingga
jam 07:00 pagi hari berikutnya (tanggal 7 Februari 1989).
Pasukan khusus ini belum
tahu bahwa saat itu sejak pagi hari tadi aparat sudah mengepung Cihideung, dan
sudah berlangsung peperangan yang konyol antara komunitas Warsidi dengan
aparat. Komandan pasukan mengutus 3 orang di antara mereka (Beni, Muchlis dan
Muhadi) ke Cihideung untuk meminta petunjuk dari Warsidi. Ternyata Muhadi
kembali ke hutan hanya seorang diri (tanpa Beni dan Muchlis), sekitar jam 12:00
siang. Ia memperingatkan agar pasukan segera meninggalkan hutan karena sudah
dikepung aparat.
Muhadi pun bergabung
dengan Beni dan Muchlis berinisiatif melakukan aksi penyerangan ke Kodim Metro
tanpa sebelumnya mendapat perintah dari Komandan pasukan.
Setelah mendapat
peringatan dari Muhadi, Komandan memutuskan untuk ke Cihideung, dengan menempuh
jalur berbeda. Anggota pasukan yang tersisa 8 orang dibagi menjadi tiga
kelomdpok. Kelompok pertama terdiri dari Riyanto, Zainuri dan Heriyanto.
Kelompok kedua, terdiri dari Fadhilah dan Tardi Nurdiansyah. Kelompok ketiga
terdiri dari Sugeng Yulianto, Abadi Abdullah dan Sadikin.
Kelompok pertama tiba di
Cihideung sekitar jam 16:00 wib, sore hari, ketika perang sudah usai. Dua
kelompok lainnya ada yang tiba pukul 19:00 dan 20:00 malam. Ketika itu
Cihideung sudah rata dengan tanah.
Sebelumnya, sekitar jam
05:30 wib tanggal 7 Februari 1989, tiga pleton tentara, 50 orang satuan Brimob,
mengepung Cihideung dari empat penjuru. Petugas memperingatkan Warsidi
berulang-ulang melalui pengeras suara untuk menyerahkan jenazah almarhum Kapten
Soetiman. Tidak ada tanda-tanda kompromi, malahan yang terdengar adalah seruan
berjihad. Tak berapa lama kemudian, anggota jama’ah Warsidi berhamburan keluar
sambil membawa panah dan golok untuk menyerang petugas yang bersenjata lengkap.
Pada peristiwa ini, Kopda Yatin tersungkur dengan punggung tertancap panah
beracun. Jama’ah Warsidi yang ketika itu berjumlah 58 jiwa (termasuk wanita dan
anak-anak), sebagian besar meninggal. Laki-laki dewasa meninggal karena
pertempuran, sedangkan wanita dan anak-anak meninggal karena ikut terbakar
bersama pondok tempat mereka selama ini bermukim. Pondok dibakar oleh salah
satu jama’ah Warsidi sendiri.
Sementara itu, pada hari
dan tanggal yang sama, 7 Februari 1989, di Sidorejo yang terpisah jarak
sepanjang 30 kilometer dari Cihideung yang saat itu sedang bergejolak
peperangan, sekitar pukul 08:00 wib seorang wanita anggota Banpol (Bantuan
Polisi) bernama Atim mencurigai kediaman Zamzuri sebagai tempat persembunyian
pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang malam tadi melakukan aksi teror di Bandar
Lampung, merampas colt angkutan umum dan membunuh Pratu Budi Waluyo.
Atim bertemu dengan istri
Zamzuri, dan dipersilakan masuk. Tak berapa lama, Atim keluar lagi dari rumah
itu, sambil dikejar oleh seseorang dari dalam rumah yang di tangannya
mencencang sebilah golok sambil meneriakinya “maling…” Atim dikejar hingga
sejauh 200 meter. Atim pun masuk ke rumah salah satu penduduk setempat, Mukaji,
untuk menyelamatkan diri.
Si pengejar tidak terus
mengejar hingga ke dalam rumah Mukaji, tetapi berbalik arah ke rumah Zamzuri.
Di tengah jalan, di depan Pos Polisi ia dicegat Serma Soedargo (Kepala Pos
Polisi) dan memerintahkannya untuk berhenti. Permintaan itu ditolak, dan berlanjut
dengan terjadinya perkelahian. Serma Soedargo tewas dibacok, setelah sebelumnya
sempat menembak Giono, anggota jamaah Warsidi di Sidorejo. Korban lain adalah
Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) ditebas batang lehernya oleh Zamzuri hingga
tewas di tempat. Masih ada satu lagi korban dari aparat kepolisian bernama
Sembiring. Ia ketika itu sudah roboh di tanah dan dipegangi oleh pak Roni
menjadi sasaran tembak dari jarak dekat oleh salah satu jama’ah Warsidi bernama
Fahruddin. Namun karena kurang terbiasa menggunakan senjata api, tembakan itu
meleset dan justru mengenai kaki pak Roni. Sembiring ketika itu pura-pura mati,
namun begitu ada keempatan lari, ia pun melarikan diri secepat-cepatnya.
Panah Beracun, Bom
Molotov dan Latihan Beladiri
Salah satu pelaku kasus
Lampung yang cukup berperanan adalah Sukardi, mantan anggota Usroh Abdullah
Sungkar yang kemudian “hijrah” ke Cihideung, benar-benar dalam rangka
mempersiapkan sebuah peperangan melawan pemerintahan RI yang disebut sebagai
pemerintahan kafir.
Menurut pengakuan
Sukardi, setelah ia bergabung menjadi bagian dari jama’ah Warsidi, aktivitas
yang dilakukannya adalah mengintensifkan ibadah rutin dengan cara berjama’ah di
Mushollah Mujahiddin. Tak hanya ibadah, Sukardi dan jama’ah Warsidi juga
menggelar sejumlah diskusi membahas perjuangan umat Islam. Juga, mengkritisi
politik rezim Soeharto yang memberlakukan Azas Tunggal Pancasila sebagai
satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pemberlakuan azas tunggal dinilai oleh para jama’ah Warsidi sebagai perampasan
hak Allah dan karena itu wajib hukumnya untuk ditentang dan diperangi. Selain
beribadah dan ‘berpolitik’, kegiatan lainnya adalah bercocok tanam di ladang
yang dihibahkan Jayus alias Dayat bin Karmo kepada Warsidi.
Sejumlah kegiatan yang
menjadi bagian dari persiapan perang antara lain diwujudkan dengan membuat
parit dengan kedalaman satu setengah meter (setinggi dada orang dewasa) di
sekitar pemukiman pondok pengajian Warsidi, yang dimaksudkan sebagai bungker
pertahanan. Juga, membuat bom molotov dari berbagai botol kosong yang diisi
serbuk gergaji dan bensin kemudian dilengkapi sumbu penyulut. Menurut pengakuan
Sukardi, bom molotov tersebut merupakan rancangan Ir. Usman, selama ia masih
menjadi bagian dari komunitas Sebagian besar bom molotov dibuat di kediaman
Imam Bakri, yang saat itu menjabat sebagai Warsidi. Imam Bakri merupakan
penduduk asli Cihideung yang secara sosial ekonomis lebih tinggi dibanding
penduduk Cihideung lainnya. Imam Bakri selain memiliki rumah yang besar dan
mesin penggiling padi, ia juga mempunyai ladang yang luas.
Selain membuat bom
molotov, persiapan perang juga diwujudkan dengan membuat sejumlah panah
beracun. Panah beracun (dari getah poh) ini merupakan rancangan Sudarsono,
salah satu dari anggota empat sekawan yang dikenal sebagai “aktivis dari
Jakarta”. Panah ini terbuat dari jeruji sepeda, becak dan sepeda motor.
Bentuknya unik, panjangnya sekitar 30 sentimeter dan berujung lancip. Pada
ujungnya yang lancip diberi pengait dari bahan semacam timah, ekornya terbuat
dari tali rafia tujuh lembar yang dijurai dengan sisir. Anak panah ini
dilengkapi dengan alat pelontar sejenis ketapel, sehingga dapat melesat sejauh
200 meter.
Selain panah beracun yang
terbuat dari bahan jeruji becak atau sepeda, ada juga jenis panah beracun lain
yang terbuat dari belahan atau potongan-potongan kecil bambu yang dilengkapi
dengan jenis racun yang berbeda. Panah beracun dari bambu ini lebarnya sekitar
dua sentimeter dan panjangnya sekitar 25 sntimter. Racun yang digunakan berasal
dari kodok buduk, tikus dan ular berbisa yang dicincang, kemudian dilarutkan ke
dalam air kelapa hijau. Untuk menghasilkan panah beracun yang mematikan, anak
panah yang telah siap direndam ke dalam larutan beracun tadi selama beberapa
hari. Untuk mempersiapkan panah beracun ini, Warsidi menugaskan Sukardi, Alex,
Sugeng Saputra, Margo Tugino, Arifin bin Karyan dan Muslim sebagai pembuatnya.
Para jama’ah
mempersiapkan diri dengan melakukan latihan bela diri dan belajar memanah, di
halaman terbuka tak jauh dari depan rumah Warsidi. Latihan bela diri, belajar
memanah, pembuatan panah beracun dan bom molotov ini dipimpin oleh Alex alias
Muhammad Ali atas perintah Warsidi untuk mempersiapkan perang mempertahankan
ideologi Islam. Aktivitas ini dengan mudah dapat dilihat oleh warga setempat
yang sedang menuju ke ladang mereka masing-masing.
Tidak Sekedar Latihan
Persiapan perang yang
diwujudkan dengan latihan beladiri, latihan menggunakan anak panah beracun dan
bom molotov, bukan sekedar latihan tanpa keinginan mempraktikkannya. Keinginan
itu ternyata begitu tinggi, ibarat orang sudah kebelet kencing. Maka, ketika
rombongan Kapten Soetiman datang (6 Februari 1989) untuk klarifikasi atas sikap
Warsidi yang tidak memenuhi undangan Camat, hal itu ditafsirkan dan disikapi
sebagai kesempatan berjihad di medan perang. Apalagi, sebelumnya aparat sudah
melakukan penangkapan terhadap lima dari enam petugas ronda yang ditugaskan
Warsidi mengintensifkan pengamanan di sekitar pondok.
Begitu juga ketika
pasukan Korem Garuda Hitam keesokan harinya (7 Februari 1989) mendatangi
‘markas’ Warsidi untuk mengambil jenazah Kapten Soetiman, juga dimaknai sebagai
kesempatan berjihad di medan perang.
Sore hari sebelumnya (6
Februari 1989), Mayor Sinaga yang lolos dari maut di Cihideng, melaporkan
peristiwa Cihideung (Talangsari) yang menyebabkan tewasnya Kapten Soetiman ke
lembaganya. Laporan itu diterima oleh Kepala Seksi Operasi Korem Garuda Hitam
Mayor Abdul Aziz, dan diteruskan kepada Komandan Korem Kolonel A.M.
Hendropriyono yang kala itu baru pulang dari Palembang seusai mengikuti
rangkaian kegiatan ABRI Masuk Desa (AMD).
Danrem Garuda Hitam
begitu terkejut mendapati laporan yang mengakibatkan tewasnya Danramil Kapten
Soetiman. Saat itu juga Danrem memerintahkan jajarannya untuk bersiap diri
menjemput jenazah Kapten Soetiman di Cihideung. Upaya ini diawali membuka pintu
negosiasi dengan Warsidi, agar jenazah Kapten Soetiman dikembalikan kepada
kesatuannya. Tetapi Warsidi menolak permintaan itu.
Negosiasi tidak digubris,
maka Danrem Garuda Hitam segera menyiapkan 3 peleton pasukan Korem Garuda
Hitam, diperkuat oleh sekitar 40 anggota Brimob dari POLRI, untuk menjemput
jenazah Kapten Soetiman. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Danrem Garuda
Hitam (Kolonel Hendropriyono), diberangkatkan menuju Cihideung menjelang tengah
malam. Sekitar pukul 05:00 wib pagi hari, pasukan sudah mendekati sasaran,
langsung melakukan pengepungan. Pengepungan dilakukan dari tiga jurusan: Pakuan
Aji (sebelah utara), Kelahang (sebelah selatan) dan Desa Rajabasa Lama (sebelah
barat).
Dengan bantuan pengeras
suara, Danrem Garuda Hitam memberi peringatan kepada Warsidi dan seluruh
jamaahnya untuk segera menyerahkan diri dan tidak melakukan perlawanan terhadap
aparat, serta menyerahkan jenazah Kapten Soetiman dengan baik-baik. Namun,
peringatan itu tidak digubris. Saat itu, mereka memang sudah kebelet,
ingin mempraktikan ilmu perangnya saat itu juga.
Ketika doktrin
radikalisme sudah tertanam kuat, dan persiapan berperang sudah dirasakan maksimal,
maka peringatan aparat melalui pengeras suara justru disambut dengan
melontarkan anak panah beracun dan bom molotov. Sebelumnya, kumandang takbir
Allahu Akbar meluncur dari bibir jama’ah Warsidi yang siap dengan panah beracun
dan bom molotov di tangan.
Lontaran anak panah
beracun dan bom molotov yang berbaur dengan teriakan Allahu Akbar, disambut
aparat dengan teriakan Allahu Akbar dan menggemakan peringatan melalui pengeras
suara. Sahutan takbir Allahu Akabr yang dilakukan Danrem Garuda Hitam dan seluruh
anak buahnya itu bertujuan agar Warsidi dan pasukannya segera menghentikan
penyerangan dan mau mengembalikan jenazah Danramil Kapten Soetiman secara
damai. Upaya ini juga tidak berhasil.
Maka, yang terjadi adalah
kontak senjata. Perang pun berkobar. Jamaah Warsidi menggunakan senjata api
milik Kapten Soetiman, panah beracun, bom molotov, golok dan parang. Sementara
itu, aparat negara yang tidak ingin mati konyol, melakukan perlawanan dengan
senjata api sesudah memberikan tembakan peringatan.
Selama perang
berlangsung, kaum ibu dan anak-anak bersembunyi di dalam sebuah rumah. Rumah
tersebut terbakar karena terkena lemparan bom molotov yang nyasar dari pasukan
Warsidi sendiri. Bom molotov salah sasaran itu terjadi ketika pasukan Warsidi
berhasil didesak mundur oleh pasukan Korem Garuda Hitam. Sambil mundur, sambil
melepaskan bom molotov, sehingga sasaran menjadi keliru. Dalam peperangan ini,
pasukan Korem Garuda Hitam mendapat bantuan dari warga sekitar.
Setelah berbilang jam kemudian,
sekitar pukul 14:00 wib, pasukan Korem Garuda Hitam dan Brimob Polri berhasil
sepenuhnya menguasai keadaan. Dari peperangan ini, sang Imam Warsidi gugur
bersama sejumlah jamaahnya. Sebagian lainnya, ditawan sebagai tahanan perang,
dan sebagian lainnya meloloskan diri seperti Jayus alias Dayat bin Karmo.
Setelah Perang Usai
Satu hal yang sudah bisa
dipastikan dari sebuah peperangan adalah jatuhnya korban. Tidak hanya korban
luka-luka, tetapi juga korban meninggal. Kapten Soetiman telah lebih dulu gugur
di dalam tugasnya sebagai Danramil yang berusaha mengamankan wilayahnya dari
potensi disintegrasi.
Dari pihak Jama’ah
Warsidi sendiri, sejumlah orang gugur, termasuk sang Imam dan pasukan
terlatihnya yang kala itu habis-habisan melawan aparat Korem Garuda Hitam dan
Brimob Polri. Sukardi, yang ketika perang berkecamuk ditugaskan Warsidi ke
Jakarta, kehilangan anak-istri dan iparnya.
Namun demikian, jatuhnya
korban tak juga menyadarkan kami. Sukardi, misalnya, setelah ditugaskan ke
Jakarta, kemudian kembali ke Talangsari dan lolos dari maut di sana, ia segera
kembali ke Jakarta menghadap Nur Hidayat sang Imam Musyafir. Ketika itu, Nur
Hidayat membawa Sukardi ke rumah Abdullah Mafaid Faedah Harahap, menggelar
pertemuan di sana untuk membahas perang di Cihideng, Talangsari. Selain saya
(Riyanto), Sukardi dan Nur Hidayat, hadir juga Fauzi Isman, Wahidin alias
Zainal, Ridwan Casari, dan Maulana Abdul Latif.
Pertemuan yang dipimpin
Nur Hidayat itu akhirnya memutuskan melancarkan perang lanjutan di Jakarta.
Sebelum aksi perang balasan berlangsung, lebih dulu dirancang sebuah
pembentukan opini melalui sejumlah selebaran yang menceritakan kasus
Talangsari, juga dibuat rekaman kaset yang berisi seruan jihad dari Amir
Musyafir Nur Hidayat.
Perang lanjutan di Jakarta
rencananya akan berbentuk menghancurkan kota Jakarta dengan membakar pom-pom
bensin, membakar Pasar Pagi dan Glodok termasuk Tanjung Priok. Sejumlah aksi
juga direncanakan akan dilakukan di daerah Subang. Sukardi ditugaskan memimpin
pasukan yang akan bergerak di daerah Subang, Jawa Barat dengan sasaran membunuh
Bupati Subang dan membunuh setiap anggota TNI dengan panah beracun. Perang
lanjutan rencananya akan digelar pada tanggal 2 Maret 1989. Sementara itu, saya
(Riyanto) ditugaskan membuat anak panah dari jeruji-jeruji motor bersama Ichwan
Sidik dan Sukardi di dibengkel Yus Iskandar Komplek Seroja Bekasi, Jawa Barat.
Beberapa hari sebelum perang balasan berlangsung, pada 27 Februari 1989, Nur
Hidayat tertangkap. Dalam hitungan jam, saya (Riyanto) dan Sukardi yang sedang
berada di markas Pondok Gede juga tertangkap.
Detik-detik penangkapan
saya (Riyanto) dan Sukardi di markas Pondok Gede kala itu, diabadikan Sukardi
melalui bukunya berjudul Pertempuran Talangsari: Perang Ideologi di
Tanah Lampung 1989, sebagai berikut:
Tanggal 23 Pebruari 1989 saya
kembali dari Semarang. Sesuai perintah, saya tetap berada di markas bersama
Riyanto untuk menyelesaikan pembuatan panah beracun yang dibantu saudara Dede
Syaifudin dan Ichwan Sidik sebagai alat untuk melakukan gerakan balasan, yang
waktunya hanya tinggal satu pekan lagi
Tanggal 25 Pebruari 1989,
Marfa’it Harahap bersama istrinya datang ke markas Pondok Gede sekitar jam 8.00
pagi padahal para jama’ah tidak memberitahukan letak markas tersebut.
Pagi hari tanggal 26 Pebruari
1989 saudara Sudarsono sebagai penyandang dana Front Komando Mujahiddin yang
bermalam di markas, pamit kepada saya untuk pergi ke daerah Bandung, Jawa Barat
dalam rangka menunaikan tugas perjuangan dan akan bermalam di Bandung.
Tanggal 27 Pebruari 1989 saya
bersama Nurhidayat nonton televisi di rumah tetangga sebelah. Kebetulan pada
malam itu ada acara pertandingan tinju Elyas Pical. Riyanto sudah tidur duluan.
Selesai acara pertandingan tinju, Nurhidayat pamit pulang ke rumahnya dan saya
masuk ke dalam markas. Belum jauh Nurhidayat meninggalkan markas Front Komando
Mujahiddin Fisabilillah, kira-kira baru seratus meter, terdengar teriakan
“maling-maling!” Di dalam hati saya berkata, Nurhidayat sudah ditangkap aparat.
Tapi saya sama sekali tidak ada keinginan untuk melarikan diri dari dalam
markas. Teriakan itu tidak membuat saya takut berlebihan walaupun di dalam hati
saya khawatir akan terjadi sesuatu pada diri saya. Untuk menghilangkan rasa
khawatir, saya masuk ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat
sunah dua roka’at. Setelah itu saya pergi tidur.
Sekitar jam 2.00 pagi terdengar
suara benda keras dilemparkan di jendela kaca depan, membuat saya terjaga dari
tidur. Setelah saya membuka pintu kamar, asap mengepul menyerang saya diiringi
teriakan “Keluar lu PKI!” Teriakan itu saya balas juga dengan teriakan untuk
membangunkan orang tidur, seolah-olah markas itu dihuni banyak jama’ah. Hampir
saja saya dan Riyanto pingsan akibat menghirup asap, kalau kami tidak
cepat-cepat masuk kamar mandi untuk berwudhu. Wudhu membuat badan saya tegar
kembali. Kemudian saya mengambil anak panah untuk melakukan perlawanan, tapi
dicegah Riyanto dan mengajak saya naik ke genteng dari lubang langit-langit di
dalam markas. Setelah berhasil naik ke genteng dan berada di posisi atas
genteng, saya berdiri bagaikan jagoan yang siap bertempur dengan musuhnya.
Melihat saya berada di atas genteng, aparat yang menyerbu berkata kepada saya
“Turun lu PKI!” Teriakan itu dijawab Riyanto: “Siapa yang PKI, Bapak yang PKI!”
Selesai menjawab teriakan petugas, Riyanto langsung melompat ke genteng rumah
sebelah, saya juga ikut melompat. Sayang, saya tidak bisa langsung sampai ke
wuwungan, merosot, berguling di genteng, membuat penghuni rumah bangun
ketakutan. Mereka mengira penjahat masuk ke dalam rumah. Hampir saja saya jatuh
dari atas genteng. Namun setelah saya bertakbir (Allahu Akbar), tubuh saya
seperti didorong-dorong ke atas sehingga akhirnya saya sampai juga di atas
wuwungan genteng bersama Riyanto.
Di atas wuwungan genteng itu
kami buka baju agar tidak jelas terlihat petugas yang mengepung kami. Lalu kami
berpelukan sebagai tanda perpisahan dari sebuah perjuangan. Karena kami sudah
berada di antara hidup dan mati. Setelah berpelukan, kami lalu berpisah untuk
menyelamatkan diri masing-masing. Saya turun dari atas wuwungan genteng.
Riyanto turun dari arah yang berbeda.
Ketika berada di pelataran
halaman rumah belakang, saya melihat ada pintu keluar, saya bergerak ke arah
pintu tersebut dengan merangkak, dengan harapan bisa meloloskan diri dari
kepungan aparat. Pintu itu tidak langsung saya buka, tapi saya intip dulu dari
celah-celah pintu. Bagai disambar petir di siang bolong terlihat para petugas
yang mengepung telah siap dengan senjata diarahkan ke pintu itu.
Karena situasi tidak
memungkinkan saya untuk lolos lewat pintu belakang, saya berbalik ke arah
semula. Badan sudah terasa sangat letih. Lalu saya melirik ke jam tangan, jam
4.00 pagi menjelang subuh! Dalam situasi kurang jelas terlihat sebuah bangunan.
Tembok kamar mandinya di bagian belakang tidak terlalu tinggi. Di sekitarnya
ada rumpun pohon pisang. Saya bergerak menuju ke sana untuk melepas lelah
dengan harapan tidak terlihat aparat yang mengepung. Sambil menunggu saat aman.
Saya bersandar ke di dinding tembok dengan tangan bergelantung di atas tembok.
Tidak beberapa lama pihak
aparat memasuki halaman belakang rumah dan memusatkan perhatian ke tempat
persembunyian saya yang jaraknya sekitar sepuluh meter. Saya sudah tidak dapat
berbuat sesuatu karena badan sudah sangat letih, hanya bisa pasrah kepada Allah
antara hidup dan mati. Ketika pandangan mata saya tertuju ke arah petugas, mata
petugas juga tertuju kepada saya dan langsung berseru: “Ini dia orangnya, gua
tembak luh!” Dan “door” peluru menembus kaki saya, tanpa memberi peringatan
lebih dulu, tanpa didahului tembakan ke atas.
Tembakan tersebut langsung
membuat saya jatuh dari atas tembok kamar mandi sambil mengucapkan takbir
(Allahu Akbar), bersamaan dengan kumandang suara azan subuh di masjid di
sekitar tempat itu.
Ketika saya terjatuh bersimbah
darah, petugas itu ingin menembak sekali lagi. Tetapi dilarang komandannya
dengan mengatakan: “Sudah cukup!” Dalam keadaan tak berdaya saya diseret aparat
dari TKP (Tempat Kejadian Penembakan) menuju kendaraan yang sudah siap sekitar
lima puluh meter dari TKP. (hal. 75-77)
Ketika mengenang kembali
masa-masa itu, kini saya justru bersyukur karena rencana perang lanjutan itu
tidak jadi kenyataan. Sebab, betapa dahsyatnya bila hal itu benar-benar
terjadi. Berapa banyak korban lagi yang akan terbunuh tanpa mengerti apa yang
sesungguhnya terjadi.
Sumber:
http://riyantolampung.blog.com/2011/09/08/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-02/
No comments:
Post a Comment