Tuesday, February 3, 2015

Kasus Talangsari, Jama’ah Islamiyah dan Komnas HAM 03




DIMINTAI  KETERANGAN  OLEH  KOMNAS  HAM
Oleh RIYANTO (Mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)

SEBAGAI pelaku kasus Talangsari, saya pernah dimintai keterangan oleh Komnas HAM (Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia). Meskipun saya sebenarnya sudah enggan mengenang kasus Talangsari, namun demi meluruskan sejarah, saya pun tergerak memenuhi panggilan Komnas HAM.

Saya dan juga hampir seluruh pelaku kasus Talangsari merasa enggan, karena kami lebih baik mengubur lembaran masa lalu yang penuh kegetiran itu dalam-dalam. Apalagi kini, sebagian anak-anak kami sudah besar, sudah bisa membaca suratkabar, sudah bisa menyimak berita di televisi dan radio, atau membaca buku-buku. Artinya, mereka sudah bisa mendapatkan informasi tentang siapa orangtuanya.

Tidak ada orangtua yang ingin mengecewakan anaknya. Semua orangtua di dunia ini tentu ingin anak-anaknya merasa bangga terhadap kedua orangtuanya. Kasus masa lalu kami telah menjadi beban tersendiri bagi kami, para pelaku kasus Talangsari. Kasus masa lalu kami sudah menjadi ‘hukuman’ tersendiri bagi kami kala teringat kembali lembaran-lembaran penuh kegetiran itu.

Kadangkala terbersit di dalam fikiran saya, “apa maksud Komnas HAM mengungkap kembali kasus Talangsari?” Untuk Menegakkan HAM? Hak asasi siapa yang hendak ditegakkan oleh Komnas HAM? Bukankah kami punya hak (asasi) untuk menutup masa lalu kami yang getir? Bila pengungkapan itu untuk merehabilitasi nama kami, itu juga tidak beralasan. Nama kami tidak perlu direhabilitasi. Terserah orang mau menilai kami dengan ukuran yang bagaimana saja. Bagi kami, yang penting jangan kembalikan masa lalu yang getir itu terngiang di benak kami.

Kami juga tidak butuh kompensasi. Ketika kami memutuskan untuk melawan kekuasaan, melawan aparat, tidak terlintas di benak kami kalau menang kelak akan mendapat imbalan. Apalagi ternyata kami kalah. Kekalahan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kompensasi dari negara. Kami hanya ingin jangan ungkit masa lalu yang getir itu, supaya kami hidup tenang, bersama anak-cucu kami.Jangan bikin kami marah karena masa lalu kami diungkit-ungkit.

Selain saya (Riyanto) yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM, juga ada sejumlah nama lain. Namun pada kesempatan ini, melalui bab ini saya tampilkan penjelasan dan keterangan dari saya (Riyanto), Fadilah, dan Muhamad Musonef. Kami berharap keterangan kami bertiga cukup bermakna bagi Komnas HAM atau siapa saja yang bergiat di bidang hak asasi manusia (HAM), sehingga diperoleh duduk persoalan yang jelas, bahwa kasus Talangsari adalah perang yang kami rencanakan untuk mendirikan negara Islam Indonesia. Namun kami gagal, dan menyadari kekeliruan di masa lalu itu sebagai sebuah peristiwa yang tidak boleh terulang di masa depan, tidak boleh diulang oleh anak-cucu kami kelak.

Keterangan Saya (Riyanto) di Komnas HAM

Pada hari Jum’at tanggal 06 Juli 2007, bertempat di kantor Komnas HAM jalan Latuharhary No. 48, Menteng, Jakarta Pusat, saya pernah memberikan keterangan khususnya kepada Tim Ad-Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari 1989. Upaya meminta keterangan dari saya oleh Tim Ad-Hoc didasarkan pada Surat Keputusan Ketua Komnas HAM nomor 15/KOMNAS HAM/V/207 tanggal 1 Mei 2007. Berdasarkan surat itu Komnas HAM menugaskan S.A. Supardi (Penyelidik Tim Ad-Hoc) dan Lamria Siagian (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc). Mereka mengajukan sejumlah pertanyaan, yang saya jawab secara gamblang. Namun dalam Berita Acara Pemeriksaan (nomor 54/TPPT/VII/2007), hanya 22 pertanyaan dan jawaban yang tertera. Rasanya, tidak seluruh isi penjelasan saya tertuang di dalam Berita Acara Pemeriksaan tersebut. Seutuhnya sebagai berikut:

Apakah Saudara dalam keadaan sehat?
Ya, saya sehat.

Apakah Saudara perlu didampingi?
Tidak usah.

Apakah Saudara mengetahui mengapa Saudara diminta keterangan pada saat ini?
Ya, saya mengetahui berkaitan dengan kejadian kasus Talangsari tanggal 7 Februari 1989.

Apakah Saudara bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya, saya bersedia dan keterangan yang saya berikan adalah benar.

Bagaimana proses hingga Saudara ada di desa Cihedeung-Talangsari?
Saya di Jakarta sudah menjadi gerakan NIl yang pimpinannya adalah Nurhidayat hasil binaan Abdullah Sungkar. Saya pergi ke Talangsari karena diajak oleh saudara Alex yang memang sejemaah dengan saya. Pada tanggal 28 Januari 1989, saya, saudara Alex beserta keluarganya dan saudara Margo beserta keluarganya berangkat ke desa Cihideung-Lampung. Sebelum kami sampai di Cihideung, kami ditempatkan singgah di rumahnya Pak Zamzuri di Sidorejo dan menginap selama semalam. Esok harinya, barulah kami diantarkan ke desa Cihideung.

Sesampainya Saudara di Cihideung, siapa yang menerima Saudara dan bagaimana keadaan di Cihideung?
Sesampainya kami di Cihideung, kami diterima oleh Pak Warsidi. Jemaah di sana waktu itu baru sekitar 20 orang. Kegiatan saya di Cihideung adalah bertugas membuat panah, membuat bilik-bilik penampungan jemaah lain yang akan datang dari beberapa tempat. Selain itu, kami juga olahraga silat yang dilatih oleh Pak Ansori.

Apakah Saudara sering mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Anwar Warsidi?
Ya, saya sering. Materi yang diberikan adalah kita harus dan sudah mendirikan negara Islam dan kita tidak perlu mengikuti Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta aturan-aturan negara Indonesia. Kita bersatu dan mengakui pemimpin Islam hanya 1 (satu) yaitu Pak Warsidi dan tidak ada 2 (dua) kepemimpinan di dalam Islam, demikian pula peraturan-peraturan yang berlaku adalah hukum Islam. Hal ini memang sudah dilaksanakan di Cihideung seperti banyaknya pernikahan diantara para jemaah tanpa dihadiri oleh pihak KUA dan dilakukan hanya menurut agama Islam yang dipimpin oleh Pak Warsidi.

Bagaimana   perkembangan   pondok   pengajian   yang   dipimpin   oleh   Warsidi selanjutnya?
Menurut saya itu bukan pondok dan bukan pengajian melainkan suatu basis pergerakan untuk mendirikan negara Islam.

Bagaimana awal mula terjadinya  peristiwa Talangsari yang sampai memakan korban jiwa?
Karena adanya gerakan untuk mengganti Pancasila, UUD 1945 dan ingin mendirikan   negara   Islam   dan    pemerintah   tidak    rela   digulingkan kekuasaannya, maka terjadilah peristiwa tersebut. Hal ini terjadi berawal dari adanya surat undangan dari Camat dan Danramil kepada Pak Warsidi, namun tidak dipenuhi, dengan alasan bahwa sejelek-jelek Ulama yang mendatangi Umarok dan sebaik-baik Umarok yang mendatangi Ulama. Akibatnya, situasi menjadi panas dan Pak Warsidi menyatakan bahwa keadaan sudah darurat dan menganjurkan untuk melakukan pengamanan secara   ketat   dalam   bentuk   penjagaan-penjagaan   di   sekitar   lokasi. Kemudian, jemaah melakukan penjagaan.

Pada tanggal 4 malam 5, Pak Warsidi memberikan sandi-sandi yaitu jika ada orang yang akan masuk lokasi pondok, ditanya “amit” maka harus dijawab “syahid”, jika orang tersebut tidak menjawab demikian, maka dapat dinyatakan bahwa dia bukan warga jemaah dan harus dibunuh.

Pada tanggal 5 malam 6 sekitar pukul 22.00 Wib, sudah ada penangkapan terhadap 5 orang warga jemaah yang namanya saya sudah lupa dan ada 1 (satu) orang yang lolos dari penangkapan tersebut bernama Joko alias Sadar. Penangkapan dilakukan oleh aparat sewaktu mereka sedang berjaga di pos ronda. Atas penangkapan  tersebut, Pak Warsidi dengan anak buahnya termasuk mantunya bernama Umar  yang diangkat sebagai panglima mengumpulkan jemaah dan Abdullah menunjuk 11 orang diantara yang saya ingat adalah Fadillah alias Sugito, saya sendiri Riyanto, Abadi Abdullah, Tardi Nurdiansyah, Soni, Zainuri, Heriyanto, Beni, Muhadi dan Sodikin di bawah pimpinan Fadllah alias Sugito. Kami bertugas  untuk membebaskan 5 orang yang ditangkap oleh aparat tersebut.

Setelah penunjukkan tersebut, kami langsung menuju Koramil Way Jepara dengan berjalan kaki untuk membebaskan 5 orang tersebut. Namun, karena hari sudah siang, maka kami pergi ke Sidorejo ke rumah Pak Zamzuri.


Sesampainya di Sidorejo (tanggal 6 Februari 1989), kami berhenti dan beristirahat sebentar di belakang rumah Heriyanto. Salah satu dari kami yang saya sudah lupa  namanya pergi ke rumah Pak Zamzuri untuk memberikan informasi. Tidak berapa  lama kemudian, datang seorang utusan yang namanya juga saya lupa memberikan kami makanan dan minuman. Setelah kami makan dan minum (sarapan), kami ke rumah Pak Zamzuri untuk beristirahat. Ketika kami sedang beristirahat, ada seorang utusan dari desa Cihideung bemama Soleh memberitahukan pesan kepada Fadillah agar Fadillah kembali ke Cihideung. Sedangkan, yang lain kami tetap tinggal di rumah Pak Zamzuri menunggu informasi/instruksi selanjutnya. Sekitar pukul 16.00 Wib, Fadillah datang dari desa Cihideung dan bergabung bersama kami di rumah Pak Zamzuri. Selanjutnya, kami bermusyawarah dan Fadill mengatakan bahwa Pak Warsidi menyuruh kami agar berangkat ke Tanjung Karang untuk membuat kekacauan dan mengalihkan aparat karena sudah terjadi pembunuhan terhadap Kapten Sutiman di Cihideung. Lalu saya ditunjuk sebagai pimpinannya dan Muklis masuk dalam Tim kami untuk menggantikan Soni.


Malam harinya, saya mencarter sebuah kendaraan “Wasis” untuk berangkat menuju Tanjung Karang. Di dalam mobil tersebut, ada seorang anggota ABRI berpakaian dinas bernama Pratu Budi Waluyo. Dalam percakapan Heriyanto dengan Pratu Budi Waluyo, Pratu Budi Waluyo mengatakan bahwa “kompi” nya akan masuk ke Cihideung untuk mengambil jenazah Kapten Sutiman yang dibunuh oleh kelompok Pak Warsidi. Berdasarkan pengakuan tersebut, lalu Zainuri memiting Pratu Budi Waluyo dan saya serta Fadillah menusuk Pratu Budi Waluyo hingga meninggal. Demikian pula, supir dan keneknya kami tusuk juga namun mereka berdua tidak meninggal dan melarikan diri. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan Sugeng Yulianto sebagai supirnya. Sesampainya kami di Tanjung Karang, kami mampir sebentar untuk mengisi bahan bakar dan Sugeng Yulianto menginformasikan kepada teman-teman bahwa lampu kendaraan mati tetapi tetap kami melanjutkan perjalanan dengan dibantu dengan senter. Sesampainya kami di depan kantor Lampung Post, saya turun dan melemparkan bom molotov yang telah kami persiapkan sebelumnya ke kantor tersebut. Akan tetapi, bom tersebut tidak meledak, hanya kaca kantor tersebut yang hancur. Setelah itu, seorang diantara kami mengusulkan agar kami pulang kembali ke Cihideung. Namun, ditengah perjalanan kami menuju Cihideung, ada razia dari pihak kepolisian. Karena gugup, maka Sugeng Yulianto tidak menghentikan kendaraannya dan melanjutkan perjalanan lagi. Karena perasaan kuatir kami akan dicari aparat, maka saya menginstruksikan agar mobil kita buang saja ke hutan dan kita mencari mobil lain untuk ke Cihideung. Namun, karena Sugeng Yulianto tidak mendengar instruksi saya dan mungkin karena gugup, dia tetap saja menjalankan mobil untuk masuk ke hutan melalui jembatan yang sedang saya periksa untuk memastikan apakah mobil tersebut bisa lewat jembatan tersebut. Namun, sewaktu saya belum selesai memeriksanya, Sugeng Yulianto langsung menjalankan kendaraan tersebut, yang akibatnya mobil terperosok ke dalam parit. Akhirnya, kami turun dan meninggalkan mobil tersebut di pinggir sungai Tigeneneng. Kemudian, kami masuk ke dalam hutan dan bermalam di dalam hutan untuk melanjutkan perjalanan ke Cihideung.

Pagi harinya tanggal 7 Februari 1989, saya membagi Tim menjadi 3 (tiga) kelompok. Saya mengutus 3 (tiga) orang bernama Beni, Muhadi dan Muklis agar mereka berangkat ke Cihideung untuk meminta petunjuk dari ke Pak warsidi dan apa perintah selanjutnya setelah kami gagal menjalankan tugas. Sedangkan yang 8 (delapan) orang lainnya menunggu di hutan. Sekitar pukul 11.00 Wib, Muhadi datang dan membawa makanan sambil mengatakan “segera tinggalkan hutan ini karena hutan ini sedang dikepung ABRI”. Lalu, Muhadi langsung pergi. Setelah itu, 8 (delapan) orang yang tersisa, saya bagi lagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama adalah Saya, Heriyanto dan Zainuri. Kelompok kedua, Fadillah dan Tardi Nurdiansyah sedangkan kelompok ketiga Sugeng Yulianto, Abadi Abdullah dan Sodikin. Kemudian, kami berpisah. Saya, Heriyanto dan Zainuri dengan mengendarai mobil omprengan menuju desa Cihideung. Kami sampai sekitar pukul   15.00  Wib dan dari jarak 100 meter saya melihat lokasi perkampungan Pak Warsidi sudah terbakar dan ada seorang anggota ABRI yang sedang berjaga di kebon jagung sekitar 10 meter dari perkampungan Pak Warsidi. Karena keadaan di sana sudah sepi dan hanya tersisa rumah-rumah yang terbakar, maka saya dan teman-teman mengurungkan niat masuk ke dalam perkampungan Pak Warsidi dan pergi menuju rumah kakaknya Heriyanto yang saya lupa namanya melalui desa Hujan Mas. Dalam perjalanan, turun hujan dan kemudian singgah sebentar di salah satu rumah warga setempat (orang Lampung) dan kami diberi makan dan minum. Lalu, warga setempat itu mensetop kendaraan truk pengangkut batu kali dan kami bertiga menumpang truk tersebut untuk pergi menuju Kedung Wuni. Setibanya kami di Kedung Wuni, hari sudah malam dan kami hanya beristirahat sebentar. Melalui informasi dari seorang anak yang berada di Kedung Wuni, bahwa kami sedang dicari oleh warga setempat dan aparat, maka kami pergi meninggalkan Kedung Wuni tersebut menuju ke dalam hutan dalam keadaan hujan. Karena hari sudah gelap dan keadaan masih hujan, maka kami memutuskan untuk bermalam di hutan sebelum menuju rumah kakaknya Heriyanto.

Subuhnya, tanggal 8 Februari 1989, kami berangkat lagi dengan berjalan kaki dan tiba dirumahnya kakaknya Heriyanto sekitar pukul 08.00 Wib. Kami diberi sarapan di rumah tersebut dan setelah itu kami bermusyawarah untuk berangkat ke Jakarta bergabung dengan kelompok yang berada di Jakarta. Kemudian, kami bertiga berangkat lagi namun kami berpencar demi keamanan dan keselamatan masing-masing. Selanjutnya, dengan mengendarai mobil omprengan saya menuju ke terminal Rajabasa dan melanjutkan dengan kendaraan umum lainnya menuju Tanjung Karang.

Setibanya saya di Tanjung Karang, saya meminta tolong seorang teman yang mempunyai usaha ekspedisi agar dapat diberangkatkan menuju Jakarta.

Setibanya di Jakarta, saya menuju ke rumah kontakan Nurhidayat di Kalimalang yang dijadikan markas oleh Nurhidayat bagi gerakan yang di Jakarta. Saya disuruh menginap di tempat tersebut. Di rumah kontrakan Nur Hidayat, saya dan anggota yang lain seperti Nur Hidayat, Kardi, Darsono, Fauzi masih sering kumpul-kumpul dan berdiskusi, membuat panah dan menyusun gerakan seperti membakar pom bensin, membakar pertokoan di Glodok, memanah ABRI-ABRI yang sedang seorang diri. Saya dipercaya oleh Nur Hidayat untuk pembuatan panah yang jumlahnya hampir ribuan buah.


Sekitar akhir Februari 1989, sekitar pukul 19.00 Wib Nur Hidayat ditangkap dan sekitar pukul 03.00, saya dan Kardi ditangkap oleh aparat (Laksus) di markas kamitersebut.

Apakah yang Saudara alami sewaktu Saudara ditagkap oleh aparat tersebut?
Setelah saya dan Kardi ditangkap oleh aparat, saya dibawa ke Laksus Kramat V. Setibanya di sana, saya bertemu dengan Nur Hidayat. Di Laksus, saya dimasukkan ke dalam sel dan diperiksa selama sehari semalam dan dipindahkan ke suatu tempat yang saya tidak ketahui karena mata saya ditutup dan tangan saya diikat. Setibanya di tempat tersebut saya dimasukkan ke dalam suatu ruangan yang dipagar dengan kawat anyam dan diberi kertas agar saya menulis seluruh perjalanan dan kegiatan saya selama saya di Lampung dan Jakarta. Saya di tempat ini selama 2 (dua) hari dan kemudian saya dibawa oleh pihak Kejaksaan dan aparat kepolisian menuju Lampung dengan mata tertutup dan tangan terikat. Setibanya di Lampung, saya dimasukkan ke dalam sel LP Rajabasa. Setelah beberapa hari, saya berada di sel LP Rajabasa, kemudian saya diperiksa oleh Jaksa bernama Trimulyo, SH.

Sewaktu Saudara ditangkap dan ditahan, apakah ditunjukkan dan diberikansurat perintah penangkapan dan penahanan?
Saya tidak diberikan apapun.

Apakah dalam peristiwa penangkapan, perjalanan maupun pemeriksaan, Saudara mengalami penganiayaan atau penyiksaan?
Ya, saya memang dipukul oleh aparat sewaktu saya diperiksa oleh aparat.

Apakah Saudara diproses secara hukum di pengadilan dan berapa lama putusannya?
Ya saya disidang di pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara dengan putusan seumur hidup. Saya menjalani hukuman tersebut hanya sekitar 10 (sepuluh) tahun di LP Batu Nusakambangan. Saya hanya menjalani 10 tahun karena saya mendapatkan amnesti dari Presiden Habbie waktu itu.

Apakah ada keluarga Saudara yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut dan bagaimana dengan korban lainnya?
Keluarga saya tidak ada yang menjadi korban dan korban yang meninggal adalah lebih dari 50 (lima puluh) orang.

Apakah akibat peristiwa Talangsari tersebut, Saudara mengalami kerugian?
Saya tidak mengalami kerugian karena memang itu sudah resiko perjuangan.

Dengan siapa Saudara ditahan di LP Batu Nusakambangan?
Saya ditahan di LP Batu Nusakambangan bersama dengan Abadi Abdullah, Fachruddin dan Sodikin.

Apakah Saudara pernah mendengar tentang islah dan dapatkah Saudara ceritakan proses sehingga terjadinya islah?
Ya, saya pernah mendengarnya dan menurut ajaran Islam, islah adalah adalah saling memaafkan.

Menurut Saudara bagaimana jika ada pihak lain yang menuntut keadilan karena keluarganya telah menjadi korban dalam peristiwa Talangsari?
Menurut saya silahkan saja, itu hak mereka. Tetapi, apakah sebelumnya tidak disadari bahwa melawan pemerintah akan berakibat seperti ini.

Apakah selain jawaban Saudara di atas, ada hal-hal yang lain yang ingin Saudara tambahkan?
Saya rasa cukup.

Apakah Saudara bersedia untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Ya, saya bersedia.

Apakah semua keterangan yang Saudara sampaikan diatas, adalah benar dan diberikan dengan sukarela dan tanpa tekanan?
Ya, yang sampaikan adalah benar dan keterangan yang saya berikan adalah sukarela, tanpa tekanan dari pihak manapun.

Apakah Saudara bersedia disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas, apabila diperlukan?
Ya, saya bersedia disumpah.

Keterangan Fadilah Kepada Komnas HAM

Selain saya, Fadilah juga dimintai keterangan oleh Komnas HAM, dengan dasar yang sama yaitu Surat Keputusan Ketua Komnas HAM nomor 15/KOMNAS HAM/V/207 tanggal 1 Mei 2007. Berdasarkan surat itu Komnas HAM menugaskan S.A. Supardi (Penyelidik Tim Ad-Hoc) dan Lamria Siagian (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc). Mereka mengajukan 29 pertanyaan. Keterangan Fadilah di Komnas HAM berlangsung pada hari Jum’at tanggal 22 Juni tahun 2007, bertempat di rumah Fadillah Wilarso Jl. Sadakanlor Rt 001/007 Desa Karangalo, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar 57792. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nomor 31/TPPT/VI/2007. Selengkapnya sebagai berikut:

Apakah Saudara dalam keadaan sehat?
Ya, saya sehat.

Apakah Saudara perlu didampingi?
Tidak perlu.

Apakah Saudara mengetahui mengapa Saudara diminta keterangan pada saat ini?
Ya, saya mengetahuinya yaitu untuk menjelaskan kejadian yang saya ketahui, dengar dan alami berkaitan dengan peristiwa Talangsari 1989.

Apakah Saudara bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya dan keterangan yang saya berikan adalah keterangan yang sebenarnya.

Sejak kapan Saudara tinggal di Jl. Sadakanlor Rt. 001 Rw. 007, Desa Karanglo, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar 57792?
Saya tinggal di tempat ini sejak lahir sampai tahun 1984. Pada tahun 1984, saya mempunyai tempat pengajian di desa Pandean yang jaraknya kurang lebih ½ Km dari rumah saya. Pengajian saya dianggap bertentangan dengan kebijakan Pemerintah karena pengajian saya beraliran dengan pengajian Abdullah Sungkar, maka saya akan ditangkap dan dibawa ke kelurahan untuk diserahkan ke Koramil atau Kepolisian, saya tidak tahu. Saat Lurah sedang pergi mungkin untuk melapor ke Koramil atau Kepolisiaan, saya lari. Kemudian, saya berlari dan menemui teman-teman yang sealiran dengan saya. Dalam pelarian, saya bertemu dengan teman saya bernama Dalhari Nurmanto yang bertempat tinggal di Lampung, namun pertemuan kami terjadi di Solo. Akhirnya, saya dibawa ke Lampung, tepatnya di desa Karanganyar Labuhan Maringgai. Saya tinggal di desa Karanganyar Labuhan Maringgai selama beberapa bulan dan melihat Pak Warsidi sering ke desa Karanganyar Labuhan Maringgai. Lama-kelamaan, saya merasakan perjuangan Dalhari Nurmanto melemah dan pindah aliran yang saya tidak tahu namanya namun yang saya ketahui aliran tersebut menyatakan bahwa sholat itu belum wajib. Lalu, saya pindah ke tempat pengajian dan tempat tinggal yang dipimpin oleh Pak Warsidi didesa Banding-Sukadana. Di tempat ini, saya tinggal selama 3 (tiga) tahun dan kemudian pindah ke Talangsari diajak oleh Pak Warsidi. Setelah saya pindah ke tempat Pak Warsidi, saya melihat banyak orang-orang yang dikoordinir Pak Warsidi sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) pelarian dari Solo dan Jogya. Lama-kelamaan pengajian yang dipimpin olek Pak Warsidi semakin keras, semakin menunjukkan ketidaksukaannya kepada Pemerintah pada waktu Itu.

Apakah Saudara mengenal Zamzuri?
Ya, saya mengenalnya karena saya pernah diajak Pak Warsidi ke rumah Pak Zamzuri dan saya juga pernah melihat Pak Zamzuri datang ke pondok.

Apakah Saudara sering megikuti pengajian yang dipimpin oleh Anwar Warsidi?
Bukan hanya sering bahkan saya dengan Pak Warsidi serumah dalam waktu yang cukup lama. Meskipun saya melakukan kegiatan lain seperti menjual buku-buku namun intensitas pertemuan saya dengan Pak Warsidi sangat intens.

Berapa kira-kira jumlah jemaah yang rutin hadir mengikuti ceramah Anwar Warsidi?
Yang hadir kira-kira berjumlah 50 orang.

Apakah materi ceramah yang seringkali disampaikan oleh Pak Warsidi?
Materi ceramahnya diantaranya adalah untuk menegakkan hukum Islam dengan cara berjihat, tidak setuju dengan asas tunggal yaitu Pancasila, tidak boleh hidup dengan peraturan lain selain hukum Islam seperti jemaah diajarkan untuk tidak perlu membayar pajak. Supaya tidak membayar pajak, tidak perlu mempunyai hak milik dengan cara hidupnya menumpang-numpang. Hal ini dilakukan pula oleh Pak Warsidi.

Bagaimana perkembangan pondok pengajian yang dipimpin oleh Warsidi selanjutnya?
Perkembangan pondok pesantren semakin lama semakin banyak orang yang datang. Mereka berasal dari Solo, Jogya, Jakarta, Sidorejo, Bandar Agung dan tempat lain. Sejak kedatangan orang dari Jakarta yang dipimpin oleh Darsono, Nurhidayat dan Fauzi kegiatan yang semula hanya pengajian kemudian berubah dengan kegiatan lain yaitu berlatih beladiri seperti memanah, silat, membuat panah dan bom molotov. Akibatnya, jemaah di Cihedeung terpengaruh dan mulai pula memesan golok, membuat panah dan latihan memanah. Sampai-sampai pembuat goloknya kewalahan karena banyaknya pesanan. Saya sendlripun semakin rajin mengasah golok jika sewaktu-waktu terjadinya perang.

Apa yang menyebabkan kegiatan pengajian berubah menjadi kegiatan-kegiatan yang bersifat perang?
Semenjak kedatangan Camat Way Jepara bernama Zulkifli, terjadi selisih paham atau pertengkaran antara Camat dengan Pak Warsidi karena Camat menghendaki jemaah kembali taat kepeda Pemerintah RI dan tunduk kepada segala peraturan yang ada termasuk Pancasila dan UUD 45 tetapi Pak Warsidi tidak mau. Kemudian, Camat mengundang Pak Warsidi untuk datang ke Kecamatan. Atas undangan tersebut, dimusyawarahkan oleh Pak Warsidi dengan jemaah pengajian. Karena waktu itu saya tidak ada di tempat dan menurut informasi yang kemudian saya dengar dari teman-teman jemaah, ada yang usul dari kalangan jemaah yaitu Tardi Nurdiansyah mengatakan bahwa “sebaik-baiknya Umarok yang mendatangi Ulama dan sejelek-jeleknya Ulama yang mendatangi Umarok”. Oleh karena itu disimpulkan bahwa undangan Camat tersebut tidak perlu didatangi. Semenjak itu, jemaah semakin semangat semangat untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu terjadi perang anatara jemaah pengajian dengan Pemerintah dan ABRI. Maka, kami melakukan penjagaan di sekitar pondok pesantren setiap malam bahkan pos penjagaan warga setempat/orang kampung juga kami tempati sehingga mereka tidak bisa melakukan penjagaan di pos tersebut meskipun biasanya mereka yang melakukan penjagaan.

Apakah yang terjadi setelah jemaah melakukan penjagaan?
Pada tanggal 5 malam 6 Februari 1989, ada patroli dari pihak Babinsa berkeliling dan mereka melihat ada orang-orang yang sedang berjaga di pos jaga sebelah Timur pondok (pos-nya orang kampung). Petugas patroli tersebut menangkap orang-orang yang sedang berjaga. Petugas patroli menangkap, karena yang sedang berjaga di pos tersebut bukan orang kampung namun orang dari pondok pesantren, padahal antara orang kampung dengan orang-orang pondok pesantren sudah terjadi kesalahpahaman. Dalam penangkapan tersebut, ada jemaah (petugas jaga) yang tidak tertangkap oleh petugas patroli karena melarikan diri yaitu Ir. Usman yang kemudian melaporkan kepada Pak Warsidi.

Siapakah nama jemaah pondok yang ditangkap oleh petugas jaga tersebut?
Setahu saya ada 5 (lima) orang yang ditangkap namun yang saya ingat namanya hanya Hardiwan karena kakak Hardiwan adalah teman saya dan tinggal di daerah Klaten-Solo dan sering bertemu dengan saya. Sedangkan yang lainnya saya sudah lupa.

Apa yang Saudara dan jemaah lakukan sehubungan dengan penangkapan terhadap warga jemaah pondok pesantren tersebut?
Atas penangkapan jemaah pondok tersebut, Pak Warsldl mengumpulkan jemaah untuk berkumpul di depan Musollah. Pak Warsidi mengumumkan mulai saat ini perang dengan pemerintah RI dan mengangkat Abdullah Sumeri sebagai panglima perang. Kemudlan Abdullah Sumerl menunjuk 12 orang yaitu saya, Sodikin asal Solo, Riyanto asal Tasik,  Heriyanto asal Lampung sekarang ada di Magetan, Abadi Abdullah asal Klaten sekarang jadi ustad di Jogya, Tardi Nurdiansyah asal Solo, Zainuri asal proyek pancasila Lampung dan yang lainnya yang saya sudah lupa namanya. Saya ditunjuk sebagai  pimpinan  Tim  tersebut dan  bertugas  untuk  mencari jemaah yang ditangkap oleh petugas patroli tersebut.

Pada tanggal 6 Februari 1989 sekitar pukul 01.00, saya dan teman-teman dengan berjalan kaki langsung menuju Koramil.

Sesampainya di sana sekitar pukul 06.00, saya melihat orang berkerumun di depan kantor Koramil dan saya bertanya kepada orang yang sedang berkerumun tersebut “ada apa?” mereka menjawab “ada orang yang ditangkap”. Saya tanya kembali “mereka ada dimana?”, mereka menjawab “sekarang sudah dibawa ke Kodim”. Karena yang akan dlbebaskan sudah tidak ada di Koramil, maka kami pergi. Saya pergi ke Sidorejo ke rumah Pak Zamzuri sedangkan yang lainnya ke hutan untuk beristirahat. Sesampainya saya di rumah Pak Zamzuri, saya dikasih uang dan saya kembali lagi ke hutan untuk bertemu dengan teman-teman yang lain agar membeli nasi. Setelah itu, ada seorang utusan dari Pak Warsidi datang ke hutan menemui kami. Utusan tersebut mengatakan agar saya kembali ke pondok pesantern dan saya kembali. Sesampainya di sana, saya melihat situasi di sana seperti perang. Jemaah pondok banyak yang membawa senjata seperti golok, panah, parang dan bom molotov. Setelah saya masuk ke pondok pesantren menemui Pak Warsidi, saya diberitahu bahwa tadi sudah terjadi perang dan pihak kita sudah berhasil membunuh Kapten Sutiman, merampas senjata pistol dan 4 (empat) kendaraan sepeda motor. Lalu, Pak Warsidi menugaskan kepada saya agar membuat huru-hara di luar seperti menyerang Korem dan diminta untuk memberitahukan kepada Riyanto agar Riyanto yang memimpin pasukan. Huru-hara ini dimaksudkan untuk mengurangi musuh yang masuk ke pondok pesantren. Lalu, saya kembali ke hutan dan menemui teman-teman saya yang lain di hutan sekaligus memberitahu pesan dari Pak Warsidi. Kemudian, kami pergi Sidorejo ke rumahnya Pak Zamzuri. Sesampainya di sana, saya memberitahu pesannya Pak Warsidi kepada Pak Zamzuri yang intinya Pak Warsidi menugaskan Tim untuk melakukan penyerangan di luar dan Tim dipimpin oleh Riyanto. Lalu, Riyanto menunjuk 11 (sebelas) orang diantaranya Sugeng Yulianto untuk sewaktu-waktu diperlukan untuk mengemudi kendaraan, Muhklis asal Sidorejo, Muadi asal Sidorejo, Heriyanto asal Sidorejo, Beni asal Solo, saya sendiri, Sodikin asal Solo, Tardi Nurdiansyah asal Solo, Zainuri asal proyek pancasila-Lampung. Selanjutnya, kami menyewa minibus “wasis” untuk ke Korem. Di dalam mobil, ada seorang anggota ABRI sebagai penumpang bus. Dalam perjalanan, di dekat hutan Bergen, anggota ABRI tersebut kami bunuh karena dia mengaku anggota dari Way Jepara dan ikut dalam peristiwa perang di Talangsari. Mayat ABRI tersebut kami buang, sopir dan kenek bus lari, Sugeng Yulianto mengambil alih kemudi bus tersebut. Sesampainya, kami di Bandar Lampung dan melemparkan 1 (satu) bom molotov di kantor Lampung Pos tetapi tidak meledak. Kami melanjutkan perjalanan lagi namun bus tersebut mogok di hutan Tigeneneng dan kami meninggalkan bus tersebut dipinggir jalan, masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan, kami bermusyawarah dan membagi dalam beberpa kelompok. Saya dan Tardi Nurdiansyah menjadi 1 (satu) kelompok dan kami kembali ke pondok pesantren. Dalam perjalanan, kami menginap di rumah saya di Gedong Wani semalam. Lalu kami berangkat lagi dan sampai di pondok pada tanggal 8 Februari 1989 sesudah isya’. Saya melihat rumah-rumah sudah rata dengan tanah lalu saya keluar dari lokasi dan tidur di gubuk di sawah bersama-sama dengan Tardi Nurdiansyah.

Pada tanggal 9 Februari 1989, kami berangkat lagi lewat Pakuanaji. Dalam perjalanan, kami ditanya oleh warga setempat dan ketika saya mengatakan identitas diri saya, mereka langsung menangkap kami dan membawa ke rumah lurah Sarnubi. Sesampainya di sana, tidak lama kemudian datang ABRI, berseragam, bersenjata yang jumlahnya cukup banyak dan membawa kami ke Kodim. Sesampainya di Kodlm Metro, saya dan Tardi Nurdiansyah terpisah.

Apakah ketika Saudara ditangkap oleh ABRI di rumah lurah Sarnubi, Saudara mengalami penganiayaan dan penyiksaan?
Ya, saya dipukul dan ditendang dan dimasukkan ke dalam mobil patroli seperti “barang” oleh masyarakat dan ABRI.

Apakah yang terjadi terhadap Saudara sewaktu di Kodim Metro?
Sebelum saya dimasukkan di dalam sel, saya ditanya oleh petugas tentang identitas diri saya. Tidak lama kemudian, datang Hendropriyono-Danrem Lampung ke Kodim dan memberitahukan kepada petugas agar saya dibawa ke Korem 04 Garuda Hitam. Saya dibawa oleh petugas, berseragam ABRI, membawa senapan dengan kendaraan ABRI yang berukuran besar menuju Korem 04 Garuda Hitam.

Apakah di Korem 04 Garuda Hitam, Saudara mengalami penganiayaan, penyiksaan dan apa saja pertanyaan yang diajukan oleh pemeriksa?
Ya, saya mengalami penyiksaan seperti ditendang. Setelah 2 (dua) hari di sel, saya didatangi oleh Hendropriyono-Danrem dan Hendropriyono mengatakan “kamu kenapa, mukamu kenapa” saya katakan ketika saya ditangkap saya dihajar oleh ABRI dan masyarakat yang menangkap saya. Selanjutnya, Hendropriyono memanggil sipir penjara dan marah-marah sama sipir penjara karena tempat penahanan saya tidak diberikan alas tidur. Hendropriyono juga mengatakan “ini tahanan harus diperlakukan dengan balk, tidak boleh disakiti, tetapi diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya,” dan akhirnya saya diberikan “velbed”.

Dalam pemeriksaan, saya ditanya mengapa saya melawan Pancasila, UUD 45 dan ingin mendirikan negara Islam. Jawaban saya pada waktu itu adalah “bahwa Pancasila memang batil”. Pemeriksaan dilakukan di Korem oleh Jaksa Efendi Pane dan sewaktu sidang pengadilan, jaksanya juga Efendi Pane. Saya ditahan berpindah-pindah antara Korem 04 dan LP Rajabasa untuk dilakukan konfrontir dengan tahanan baru di Korem. Selama dalam tahanan, ada pengacara bernama Suwandi dan Sutan Syahrir menawarkan dlri untuk mendampingi saya namun saya tolak. Hal ini saya lakukan karena saya berpendapat bahwa siapapun orang yang tunduk kepada asas tunggal-pancasila, saya anggap musuh. Mereka mau membela menegakkan hukum pastilah hukum yang berlaku di negerl ini (KUHP). Sedangkan, saya berjuang untuk menegakkan hukum Islam.

Setelah 9 (sembilan) bulan dalam tahanan, saya disidangkan di Pengadilan Negerl Tanjung Karang dengan putusan dihukum penjara seumur hidup. Lalu, saya dibawa ke penjara Rajabasa selama kurang lebih 2 (dua) tahun lalu dipindah ke Nusakambangan dan menjalaninya selama 8 (delapan) tahunan. Menjelang 10 tahun saya menjalani hukuman, saya mendapat grasi. Awalnya, saya menolak untuk mengajukan grasi namun ketika Darsono datang dan mengatakan kepada saya agar mengajukan grasi maka saya mengikutinya. Pada bulan Februari 1999, saya dibebaskan.

Apakah setelah Saudara dilepaskan, Saudara mendapatkan ancaman atau teror?
Tidak ada, bahkan saya merasa sangat dihargai oleh masyarakat antara lain menjelang pemilihan lurah, polsek Tawamangu datang dan menawari saya agar mencalonkan diri sebagai lurah namun saya menolaknya.

Sewaktu Saudara ditangkap dan ditahan, apakah ditunjukkan dan diberikansurat perintah penangkapan dan penahanan?
Saya tidak pernah mendapatkan surat penangkapan sedangkan mengenai surat penahanan ada dan perpanjangannya berulang-ulang tetapi saya gunakan untuk melinting rokok.

Apakah setelah Saudara dilepaskan, Saudara mendapatkan ancaman atau teror?
Tidak ada, bahkan saya merasa sangat dihargai oleh masyarakat antara lain menjelang pemilihan lurah, polsek Tawamangu datang dan menawari saya agar mencalonkan diri sebagai lurah namun saya menolaknya.

Berapa banyak korban akibat peristiwa Talangsari?
Saya tidak tahu karena waktu kejadian saya tidak berada ditempat dan pada waktu saya kembali saya hanya menjumpai rumah-rumah rata dengan tanah.

Apakah akibat peristiwa Talangsari tersebut, Saudara mengalaml kerugian?
Ya, sampai sekarang saya tidak pernah bertemu dengan Istri dan seorang anak saya.

Dengan siapa Saudara ditahan di Nusakambangan?
Heriyanto, Sugeng Yulianto, Riyanto, Abadi Abdullah, Sodikin, Musonep, Marsudi, Fahrudin, Tardi Nurdiansyah dan Zamzuri.

Dapatkah Saudara cerltakan proses sehingga terjadinya islah?
Sewaktu  saya keluar dari penjara kurang dari 1 (satu) minggu, saya dipanggil oleh Darsono untuk datang ke Jakarta karena akan dilaksanakan acara syukuran di Gedung Transmigrasi. Tardi Nurdiajnsyah adalah orang yang membacakan pernyataan Islah. Islah ditandatangant oleh jemaah Talangsari, warga setempat, pihak aparat diantaranya oleh Hendropriyono.

Apakah dalam islah itu dinyatakan juga ada syarat seperti rehabilltasi, kompensasi dan reparasi, jika ada bagaimana pendapat Saudara terhadap hal tersebut?
Kalau ada dari pihak lain yang melakukannya silahkan saja namun saya tidak mau melakukan itu. Jadi, kalau pemerintah mau melakukan rehabilltasi, kompensasi dan reparasi silahkan saja tetapi saya tidak akan memohon karena saya melakukan perjuangan itu hanya untuk mencari ridho Allah, resikonya saya sudah tahu dan tanggungan sendiri serta resiko ini merupakan ujian dalam ibadah. Hal tersebut hingga sekarang masih saya imani.

Apakah selain jawaban Saudara di atas, ada hal-hal yang lain yang ingin Saudara tarnbahkan?
Ya, kalau suatu saat kasus ini ada orang-orang yang demostrasi atau melakukan aksi menuntut di bawa ke pengadilan, komnas HAM dan tempat lainnya mungkin saya tidak datang karena masalah biaya dan sebagainya, bukan berarti saya setuju. Saya menganggap kasus Talangsari ini sudah selesai.

Apakah Saudara bersedia untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Ya, saya bersedia namun tergantung waktu dan kondisi.

Apakah semua keterangan yang Saudara sampaikan diatas, adalah benar dan diberikan dengan sukarela dan tanpa tekanan?
 Insya Allah, benar dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Apakah Saudara bersedia disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas,
Ya, saya bersedia disumpah.

Keterangan Musonef Kepada Komnas HAM

Bersamaan dengan Fadilah, Komnas HAM juga meminta keterangan dari Muhamad Musonef, jama’ah Warsidi yang sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari. Muhamad Musonef dimintai keterangan (24 pertanyaan) oleh Ifdhal Kasim (Penyelidik Tim Ad-Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari 1989), dan Roichatul Aswidah (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari 1989).

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Muhamad Musonef bernomor 33/TPPT/VI/2007 dan pemeriksan berlangsung pada hari Jum’at tanggal 22 Juni tahun 2007, bertempat di Desa Sadakanlor Rt 001/007 Desa Karangalo, Kec Tawangmangu, Kota Karanganyar 57792. Selengkapnya sebagai berikut:

Apakah Saudara dalam keadaan sehat?
Ya, saya sehat.

Apakah Saudara mengetahui mengapa Saudara dipanggil untuk diminta keterangan?
Ya saya mengetahui yaitu untuk diminta keterangan mengenai peristiwa talangsari, lampung 1989.

Apakah Saudara bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya saya bersedia.

Apakah Saudara mengenal Warsidi dan apa yang Saudara ketahui tentang kegiatan Warsidi?
Saya datang ke Lampung pada Juli 1986 di pondok pesantren Al Islam Way Jepara yang berjarak 15 km dari Cihideung untuk mengajar di pesantren tersebut. Sekitar satu setengah tahun kemudian, saya berkenalan dengan Bapak Warsidi, karena Pak Warsidi sering silaturahmi ke Al Islam. Pak Warsidi mengajak ke penegakan agama Islam, karena satu pikiran, saya bergabung dengan Pak Warsidi. Saya kemudian sering datang ke Cihideung untuk mendengar ceramah Pak Warsidi juga mendiskusikan bagaimana kita taat kepada Allah dan menjadikan Islam sebagai tuntunan termasuk sebagai undang-undang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya, kami berusaha untuk menegakkan Syariat Islam.  Saat itu saya mondar-mandir Way Jepara-Cihideung. Kegiatan kami banyak mendapat tantangan dan bersinggungan dengan masyarakat sekitar dan menyebabkan  hubungan yang tidak harmonis dengan  masyarakat. Tokoh masyarakat juga tidak berkenan dengan kegiatan. Pak Sukidi sebagai kadusnya merasa curiga karena banyak kegiatan tetapi tidak ada laporan ke dia sebagai kadus. Saya dengar dari Pak Warsidi, Kadus melanjutkan laporan tentang kegiatan Pak Warsidi yang mencurigakan ke kepala desa dan ke kecamatan karena semakin banyak tamu baru terutama dari Solo dan Jakarta tetapi tidak melaporkan. Apalagi ada kegiatan lain yang lebih membuat kecurigakan misalnya latihan memanah dan bela diri yang dilakukan setiap malam hari walau tidak sering. Saya sendiri juga mengikuti latihan tersebut, tetapi tidak sering karena kegiatan saya sendiri tinggal di Way Jepara.

Informasi dari teman-teman, kira-kira bulan Januari 1989, saya dengar pak Warsidi dikirimi surat dari camat Way Jepara, Zulkifli Maliki yang memanggi Pak Warsidi untuk datang ke kecamatan. Saya dengar, Pak Warsidi menjawab untuk bermusyawarah dengan para jamaahnya, apakah perlu mendatangi pak Camat atau tidak. Saya mengetahui bahwa ada usulan jawaban dari jamaah bahwa “sebaik-baik umaro’ adalah yang mendatangi ulama dan sejelek-jelek ulama adalah yang mendatangi umaro’” Yang saya tahu, pihak kecamatan kemudian tersinggung. Keadaan masyarakat di Cihidueng kemudian dalam kondisi memanas. Akibatnya dari anggota jamaah mempersiapkan diri bila terjadi sesuatu khususnya dari segi keamanaan. Pikiran kami, karena kami tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah saat itu, yaitu kami menegakkan syariat Islam, tentu ada konsekwensi terutama dari segi keamanan. Kami menyiapkan dengan lebih intensif dalam latihan bela diri, memanah dan berjaga malam.

Apa yang Saudara ketahui tentang Peristiwa 6 Februari 1989?
Saat bulan Februari sebelum kejadian, di Pondok Al Islam, ada beberapa santri yang sudah bergabung pondok Warsidi di Cihideung. Kegiatan belajar mengajar di Pondok Al Islam kemudian berhenti karena sebagian besar murid, belasan orang, pindah ke pondok Warsidi. Oleh karena itu, pada sekitar 3 atau 4 Februari 1989, saya kemudian bersilaturahmi ke tempat wali murid dengan dua orang santri di daerah Sumber jaya Lampung Utara dan menginap di sana selama dua hari. Kemudian, sekitar tanggal 5 Februari, saya pulang ke Way Jepara melalui proyek Pancasila di sana ada keributan yang saya tidak tahu. Sesampai di Pesantrean Al Islam, pada 6 Februari 1989, saya dengar ada peristiwa kedatangan aparat kecamatan bersama rombongan Koramil di Pondok Warsidi. Saya dengar rombongan itu diserbu jamaah Warsidi yang mengakibatkan tewasnya kapten Sutiman.

Apa yang Saudara ketahui tentang Peristiwa Sidorejo dan Peristiwa Tatangsari?
Mendengar tentang peristiwa itu saya kemudian menyuruh santri yang ada di pondok Al Islam untuk pulang. Saya mengantar mereka sampai Sumber Jaya. Saya menginap dua hari di sana di rumah wali santri yang saya lupa namanya. Oleh karena itu, saya tidak tahu tentang peristiwa Talangsari tanggal 7 Februari 1989. Saya juga mendengar peristiwa Sidorejo dari kawan-kawan. Saya dengar bahwa jamaah Warsidi bentrok dengan aparat kepolisian dan kepala desa Sidorejo. Yang saya tahu mereka yang terlibat adalah Salman Suripto, Pak Roni, Munzaini, dan Fachrudin. Saya juga dengar tentang pembunuhan di bis Wasis. Saya mendengar peristiwa Sidorejo saat sudah berada di Korem. Saya kenal semua dengan mereka. Saya kenal juga dengan Abadi dan Riyanto, Nurdiansyah dan Yulianto yang terlibat di dalam peristiwa mobil Wasis.

Bagaimanai proses penangakapan terhadap Saudara?
Saya ditangkap kira-kira pada 9-10 Februari 1989, kira-kira sore hari. Saat saya sedang jalan-jalan, satu orang aparat Koramil bersama yang saya tahu aparat desa mendatangi saya. Aparat Koramil menanyakan apakah saya anggota jemaah Warsidi dan saya mengakui. Saya tidak mengelak karena hal itu merupakan keyakinan saya. Saya kemudian dibawa ke Koramil Sumber Jaya dengan mobil suzuki carry dan dikawal oleh aparat dari Koramil. Saya singgah sebentar di Koramil Sumber jaya dan ditanya oleh beberapa petugas Koramil dengan pertanyaan yang sama saat penangkapan dan saya menjawab dengan jawaban yang sama pula. Saya kemudian dibawa ke Korem Garuda Hitam. Sejak penangkapan sampai saat itu tangan saya tidak diborgol.

Apa yang kemudian terjadi?
Saya sampai di Korem pada sekitar jam delapan malam. Saya kemudian diistirahatkan di dalam mobil selama beberap jam dan kemudian dibawa ke ruang pemeriksaan. Saya ditanya oleh sekitar 2-3 orang yang diantaranya berpakaian seragam dan berpakaian preman. Mereka bertanya apakah saya anggota jemaah warsidi yang berusaha untuk memperjuangkan  agama Islam secara kaffah. Saya  jawab  iya. Saya juga ditanya apakah saya membunuh atau menciderai aparat kemanaan, saya jawab tidak dan apabila terjadi bentrokan dengan aparat, itu merupakan resiko dalam memperjuangan Islam sebagai hukum atau tatanan dalam masyarakat dan bernegara. Untuk menerapkan itu kami melakukan latihan memanah dan bela diri untuk menghadapi aparat keamanan. Mereka menjawab bagus. Saya diperiksa sekitar 3-4 jam. Saya dimasukkan ke LP Rajabasa malam itu dengan mobil Korem bersama dengan beberap orang yang saya lupa nama mereka.

Selama saya di LP dan di Korem saya bertemu dengan teman-teman saya yang saya kenal (yang saya sebutkan di atas terkait peristiwa Sidorejo) termasuk juga Pak Zamzuri yang saya kenal karena saya sering main ke rumah pak Zamzuri.

Apa yang terjadi terhadap Saudara selama Saudara berada di LP Rajabasa?
Sesampai di LP Rajabasa saya dimasukkan ke sel yang layak yang dihuni 6-10 orang. Saya tidak mengenal jauh mereka yang satu sel dengan saya. Saya diperiksa di Korem sampai sekitar Mei 1989. Pemeriksaan biasanya berlangsung dua kali seminggu dimana setiap pemeriksaan berlangsung kira-kira 3-4 jam. Biasanya saya dijemput jam 9 pagi sampai jam 2 sore. Selama pemeriksaan di Korem saya tidak mengalami penyiksaan hanya dibentak. Saya diperiksa oleh aparat Korem, sementara untuk saat pemeriksaan perkara saya juga diperiksa oleh polisi dan Kejaksaan. Saat itu saya diberi tahu bahwa saya melanggar ideologi negara Pancasila dan ingin mengganti dengan syariat islam atau sistem Islam. Saat diperiksa saya bertemu sekilas dengan Pak Hendro.

Apakah ada prosedur penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat? Misalnya menunjukkan surat perintah penangkapan dan penahanan?
Sampainya di Rajabasa saya menandatangani surat penahanan dan diperlihatkan surat penahanan itu. Begitu pula saat penangkapan.

Apakah keluarga Saudara dapat mengunjungi Saudara saat Saudara berada di LP Rajabasa?
Saya dapat dikunjungi oleh keluarga saat berada di LP Rajabasa. Dua kali keluarga saya mengunjungi saya. Mereka mengunjungi saya dari pagi-sore. Saya juga diperbolehkan menerima barang. Selama di LP saya diberi makan yang layak, dua kali sehari. Pagi sarapan ubi jalar dan siang makan nasi sementara malam tidak diberi makan.

Apakah ada proses peradilan terhadap Saudara, mengapa dan bagaimana putusannya? Selama dalam proses persidangan, apakah Saudara didampingi oleh penasihat hukum.
Setelah pemberkasan, saya ditawari oleh jaksa untuk didampingi pengacara tetapi saya tidak mau. Pengadilan juga menawari saya untuk didampingi, tetapi saya tidak mau karena saya berhukum dengan hukum Allah dan berlindung dengan Allah dan bukan dengan hukum manusia. Dalam persidangan sayu dituduh merongrong ideologi Pancasila dan mendirikan negara Islam. Satu lagi tudahannya saya lupa. Intinya, tuduhannya subversif. Saya lupa ancaman hukumannya. Saya divonis 20 tahun sebagai konsekwensi menantang Pancasila sebagai idologi negara. Persidangan itu berlangsung kira-kira 4-5 kali. Saksi-saksi dalam persidangan saya adalah pak Fadhillah, dan juga teman saya di pesantren Al Islam ustad Muhammad Idris, Lurah Labuhan Ratu I Way Jepara Suroso, Ketua Yayasan Al Islam Maulana dan yang lain saya tidak ingat. Tidak ada saksi dari MUI Lampung dan juga tidak ada saksi dari tentara.

Apa yang Saudara rasakan dengan proses persidangan tersebut? Apakah menurut Saudara berjalan dengan adil?
Saya merasa tidak ada beban menjalani proses persidangan tersebut. Karena hal ini saya terima sebagai konsekwensi dari perjuangan dalam menegakkan syariat Islam serta memurnikan ajaran Islam yang sebenarnya.

Dimana Saudara menjalani masa hukuman setelah putusan pengadilan?
Saya tetap ditempatkan di LP Rajabasa sampai bulan Juli 1991. Keluarga saya masih bisa berkunjung dan tidak ada perlakuan kasar terhadap saya. Saya kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Di LP Nusakambangan, saya ditempatkan di LP Permisan. Saya berada di sana dengan Salman Suripto dan Syukur (putra pak Marsudi). Saya berada di Nusakambangan sampai masa reformasi.

Apa kegiatan Saudara selama di Nusakambangan?
Saya mengikuti kegiatan pengajian, dan ketrampilan dengan membuat cincin dan pertanian. Selama saya di sana tidak ada petugas Kodim atau pun Korem yang datang.

Bagaimana proses pembebasan terhadap Saudara?
Saya mendengar tentang pembebasan saya dari membaca Koran Suara Merdeka dan dari radio sebelum mendengar dari Kalapas. Empat hari kemudian, saat itu bulan puasa, saya diberitahu oleh Kalapas bahwa saya bebas. Saya dibebaskan pada 27 Ramadhan atau 19 Januari 1999. Saya dijemput oleh keluarga dan teman-teman di Solo.

Apakah Saudara dikenai wajib lapor setelah dibebaskan? Setelah Saudara dibebaskan, apakah Saudara mendapatkan teror, ancaman dan atau perlakuan lain?
Saya tidak dikenai wajib lapor dan diancam serta tidak diawasi. Saya dapat hidup layak sebagai anggota masyarakat. Setelah dibebaskan saya wirausaha dengan membuat makanan kecil dan tidak mendapat kesulitan.

Setelah dibebaskan apakah Saudara pernah bertemu dengan Sdr. Hendropriyono?
Saya pernah ketermu Pak Hendro sekali, setelah dilepaskan. Saat itu Pak Hendro menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH. Kami bertemu di Deptrans dan PPH dalam rangka islah. Waktu itu saya datang bersama, yang dari Solo: Fadhillah, Sugeng Yulianto, Tardi Nurdiansyah, Sodikin, Sofian, Fachruddin, Abadi Abdullah, Munzaini, Salman Suripto; dari Jakarta adalah Sudarsono dan Fauzi Isman, dan Pak Zamzuri dari Lampung. Yang lain saya lupa. Penggagas islah adalah Sudarsono, Fauzi Isman dan Nurhidayat dalam rangka mengusulkan pembebasan kami yang ada di Nusakambangan. Saat bertemu dengan Pak Hendro, saya tidak begitu jelas apa yang dibicarakan tetapi intinya adalah untuk memperbaiki nama baik narapidana. Saat itu soal ekonomi tidak tercetus tetapi ada sebagian teman-teman yang dibantu melalui proyek transmigrasi misalnya ada teman yang mengerjakan proyek tambak udang Dipasena, Lampung. Saya tidak tahu persis siapa yang mengerjakan tambak udang itu. Kami sendiri tidak setuju, karena setelah pembebasan perlu adaptasi dengan lingkungan.

Apakah Saudara memiliki saksi-saksi atau bukti-bukti yang menguatkan keterangan Saudara?
Saya mempunyai saksi-saksi seperti Abadi Abdullah, Munzaini, dan Pak Fadhillah. Dokumen sudah hilang termasuk alat bukti panah. Surat pembebasan saya sudah tidak ada.

Adakah hal-hal lain yang perlu Saudara sampaikan?
Permasalahan Lampung adalah peristiwa yang wajar sebagai konsekuensi dari perjuangan, yang berwujud clash antara aparat keamanan dan jamaah, yang kemudian diadakan suatu islah yang merupakan jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan kasus ini. Dengan demiklan, tidak terjadi ketidakadilan hukum yang dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang menginginkan kompensasi atau materi lainnya.

Apa yang Saudara harapkan dari pengusutan perkara ini secara hukum?
Saya merasa tidak perlu menyelesaikan perkara ini secara hukum. Tetapi dalam jalan Islam dengan jalan islah atau misalnya secara rekonsilaisi seperti di Afrika Selatan. Saya menginginkan penyelesaian perkara ini lewat cara itu.

Apakah Saudara bersedia untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Insyaallah saya bersedia.

Apakah semua keterangan yang Saudara sampaikan di atas, diberikan dengan sukarela dan tanpa tekanan?
Ya dengan suka rela untuk mencapai kebaikan.

Apakah Saudara bersedia disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas, apabila diperlukan?
Ya saya bersedia.

***

Muhamad Musonef dalam kasus Talangsari sebenarnya layak disebut korban. Berbeda dengan saya (Riyanto) dan Fadillah,  Muhamad Musonef tidak ikut berperang dan merencanakan peperangan. Lulusan ponpes Ngruki ini dikikrim oleh ustadz-nya untuk mengisi tenaga pengajar di ponpes Al-Islam di Kecamatan Way Jepara. Ponpes Ngruki memang punya tradisi menyebar lulusannya ke berbagai ponpes di seluruh pelosok nusantara.

Meski tidak ikut berperang dan merencanakan peperangan, Musonef mengetahui adanya rencana perang melawan aparat yang dirancang jama’ah Warsidi. Ia secara terus terang dan jujur mengakui sebagai anggota jama’ah Warsidi dan mempunyai kesepahaman ideologis dengan Warsidi. Meski tidak intensif, sesekali Muhamad Musonef juga ikut latihan memanah dan sebagainya.

Perlakuan aparat terhadap Muhamad Musonef tentu berbeda, karena ia tidak ikut merancang dan melancarkan perang ideologis. Musonef tidak mendapat perlakuan keras dari aparat, penangkapannya juga dilengkapi dengan surat-surat yang diperlukan.

Sumber:
http://riyantolampung.blog.com/2011/09/10/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-03/

No comments:

Post a Comment