DIMINTAI
KETERANGAN OLEH KOMNAS HAM
Oleh RIYANTO (Mantan
Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
SEBAGAI pelaku kasus
Talangsari, saya pernah dimintai keterangan oleh Komnas HAM (Komisi Nasional
untuk Hak Asasi Manusia). Meskipun saya sebenarnya sudah enggan mengenang kasus
Talangsari, namun demi meluruskan sejarah, saya pun tergerak memenuhi panggilan
Komnas HAM.
Saya dan juga hampir
seluruh pelaku kasus Talangsari merasa enggan, karena kami lebih baik mengubur
lembaran masa lalu yang penuh kegetiran itu dalam-dalam. Apalagi kini, sebagian
anak-anak kami sudah besar, sudah bisa membaca suratkabar, sudah bisa menyimak
berita di televisi dan radio, atau membaca buku-buku. Artinya, mereka sudah
bisa mendapatkan informasi tentang siapa orangtuanya.
Tidak ada orangtua yang
ingin mengecewakan anaknya. Semua orangtua di dunia ini tentu ingin
anak-anaknya merasa bangga terhadap kedua orangtuanya. Kasus masa lalu kami
telah menjadi beban tersendiri bagi kami, para pelaku kasus Talangsari. Kasus
masa lalu kami sudah menjadi ‘hukuman’ tersendiri bagi kami kala teringat
kembali lembaran-lembaran penuh kegetiran itu.
Kadangkala terbersit di
dalam fikiran saya, “apa maksud Komnas HAM mengungkap kembali kasus Talangsari?” Untuk Menegakkan
HAM? Hak asasi siapa yang hendak ditegakkan oleh Komnas HAM? Bukankah kami
punya hak (asasi) untuk menutup masa lalu kami yang getir? Bila pengungkapan
itu untuk merehabilitasi nama kami, itu juga tidak beralasan. Nama kami tidak
perlu direhabilitasi. Terserah orang mau menilai kami dengan ukuran yang
bagaimana saja. Bagi kami, yang penting jangan kembalikan masa lalu yang getir
itu terngiang di benak kami.
Kami juga tidak butuh
kompensasi. Ketika kami memutuskan untuk melawan kekuasaan, melawan aparat,
tidak terlintas di benak kami kalau menang kelak akan mendapat imbalan. Apalagi
ternyata kami kalah. Kekalahan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kompensasi dari negara. Kami hanya ingin jangan ungkit masa lalu yang getir
itu, supaya kami hidup tenang, bersama anak-cucu kami.Jangan bikin kami marah karena
masa lalu kami diungkit-ungkit.
Selain saya (Riyanto)
yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM, juga ada sejumlah nama lain. Namun
pada kesempatan ini, melalui bab ini saya tampilkan penjelasan dan keterangan
dari saya (Riyanto), Fadilah, dan Muhamad Musonef. Kami berharap keterangan kami bertiga cukup bermakna bagi
Komnas HAM atau siapa saja yang bergiat di bidang hak asasi manusia (HAM),
sehingga diperoleh duduk persoalan yang jelas, bahwa kasus Talangsari adalah
perang yang kami rencanakan untuk mendirikan negara Islam Indonesia. Namun kami
gagal, dan menyadari kekeliruan di masa lalu itu sebagai sebuah peristiwa yang
tidak boleh terulang di masa depan, tidak boleh diulang oleh anak-cucu kami
kelak.
Keterangan
Saya (Riyanto) di Komnas HAM
Pada hari Jum’at tanggal
06 Juli 2007, bertempat di kantor Komnas HAM jalan Latuharhary No. 48, Menteng,
Jakarta Pusat, saya pernah memberikan keterangan khususnya kepada Tim Ad-Hoc
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari
1989. Upaya meminta keterangan dari saya oleh Tim Ad-Hoc didasarkan pada Surat
Keputusan Ketua Komnas HAM nomor 15/KOMNAS HAM/V/207 tanggal 1 Mei 2007.
Berdasarkan surat itu Komnas HAM menugaskan S.A. Supardi (Penyelidik Tim
Ad-Hoc) dan Lamria Siagian (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc). Mereka mengajukan
sejumlah pertanyaan, yang saya jawab secara gamblang. Namun dalam Berita Acara
Pemeriksaan (nomor 54/TPPT/VII/2007), hanya 22 pertanyaan dan jawaban yang
tertera. Rasanya, tidak seluruh isi penjelasan saya tertuang di dalam Berita
Acara Pemeriksaan tersebut. Seutuhnya sebagai berikut:
Apakah Saudara dalam
keadaan sehat?
Ya, saya sehat.
Apakah Saudara perlu
didampingi?
Tidak usah.
Apakah Saudara mengetahui
mengapa Saudara diminta keterangan pada saat ini?
Ya, saya mengetahui
berkaitan dengan kejadian kasus Talangsari tanggal 7 Februari 1989.
Apakah Saudara bersedia
memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat
peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan
keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya, saya bersedia dan
keterangan yang saya berikan adalah benar.
Bagaimana proses hingga
Saudara ada di desa Cihedeung-Talangsari?
Saya di Jakarta sudah
menjadi gerakan NIl yang pimpinannya adalah Nurhidayat hasil binaan Abdullah
Sungkar. Saya pergi ke Talangsari karena diajak oleh saudara Alex yang memang
sejemaah dengan saya. Pada tanggal 28 Januari 1989, saya, saudara Alex beserta
keluarganya dan saudara Margo beserta keluarganya berangkat ke desa
Cihideung-Lampung. Sebelum kami sampai di Cihideung, kami ditempatkan singgah
di rumahnya Pak Zamzuri di Sidorejo dan menginap selama semalam. Esok harinya,
barulah kami diantarkan ke desa Cihideung.
Sesampainya Saudara di
Cihideung, siapa yang menerima Saudara dan bagaimana keadaan di Cihideung?
Sesampainya kami di
Cihideung, kami diterima oleh Pak Warsidi. Jemaah di sana waktu itu baru
sekitar 20 orang. Kegiatan saya di Cihideung adalah bertugas membuat panah,
membuat bilik-bilik penampungan jemaah lain yang akan datang dari beberapa
tempat. Selain itu, kami juga olahraga silat yang dilatih oleh Pak Ansori.
Apakah Saudara sering
mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Anwar Warsidi?
Ya, saya sering. Materi
yang diberikan adalah kita harus dan sudah mendirikan negara Islam dan kita
tidak perlu mengikuti Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta
aturan-aturan negara Indonesia. Kita bersatu dan mengakui pemimpin Islam hanya
1 (satu) yaitu Pak Warsidi dan tidak ada 2 (dua) kepemimpinan di dalam Islam,
demikian pula peraturan-peraturan yang berlaku adalah hukum Islam. Hal ini
memang sudah dilaksanakan di Cihideung seperti banyaknya pernikahan diantara
para jemaah tanpa dihadiri oleh pihak KUA dan dilakukan hanya menurut agama
Islam yang dipimpin oleh Pak Warsidi.
Bagaimana
perkembangan pondok pengajian
yang dipimpin oleh Warsidi selanjutnya?
Menurut saya itu bukan
pondok dan bukan pengajian melainkan suatu basis pergerakan untuk mendirikan
negara Islam.
Bagaimana awal mula
terjadinya peristiwa Talangsari yang sampai memakan korban jiwa?
Karena adanya gerakan
untuk mengganti Pancasila, UUD 1945 dan ingin mendirikan
negara Islam dan
pemerintah tidak rela digulingkan
kekuasaannya, maka terjadilah peristiwa tersebut. Hal ini terjadi berawal dari
adanya surat undangan dari Camat dan Danramil kepada Pak Warsidi, namun tidak
dipenuhi, dengan alasan bahwa sejelek-jelek Ulama yang mendatangi Umarok dan
sebaik-baik Umarok yang mendatangi Ulama. Akibatnya, situasi menjadi panas dan
Pak Warsidi menyatakan bahwa keadaan sudah darurat dan menganjurkan untuk
melakukan pengamanan secara ketat dalam
bentuk penjagaan-penjagaan di
sekitar lokasi. Kemudian, jemaah melakukan penjagaan.
Pada tanggal 4 malam 5,
Pak Warsidi memberikan sandi-sandi yaitu jika ada orang yang akan masuk lokasi
pondok, ditanya “amit” maka harus dijawab “syahid”, jika orang tersebut tidak
menjawab demikian, maka dapat dinyatakan bahwa dia bukan warga jemaah dan harus
dibunuh.
Pada tanggal 5 malam 6
sekitar pukul 22.00 Wib, sudah ada penangkapan terhadap 5 orang warga jemaah
yang namanya saya sudah lupa dan ada 1 (satu) orang yang lolos dari penangkapan
tersebut bernama Joko alias Sadar. Penangkapan dilakukan oleh aparat sewaktu
mereka sedang berjaga di pos ronda. Atas penangkapan tersebut, Pak
Warsidi dengan anak buahnya termasuk mantunya bernama Umar yang diangkat
sebagai panglima mengumpulkan jemaah dan Abdullah menunjuk 11 orang diantara
yang saya ingat adalah Fadillah alias Sugito, saya sendiri Riyanto, Abadi
Abdullah, Tardi Nurdiansyah, Soni, Zainuri, Heriyanto, Beni, Muhadi dan Sodikin
di bawah pimpinan Fadllah alias Sugito. Kami bertugas untuk membebaskan 5
orang yang ditangkap oleh aparat tersebut.
Setelah penunjukkan
tersebut, kami langsung menuju Koramil Way Jepara dengan berjalan kaki untuk
membebaskan 5 orang tersebut. Namun, karena hari sudah siang, maka kami pergi
ke Sidorejo ke rumah Pak Zamzuri.
Sesampainya di Sidorejo
(tanggal 6 Februari 1989), kami berhenti dan beristirahat sebentar di belakang
rumah Heriyanto. Salah satu dari kami yang saya sudah lupa namanya pergi
ke rumah Pak Zamzuri untuk memberikan informasi. Tidak berapa lama
kemudian, datang seorang utusan yang namanya juga saya lupa memberikan kami
makanan dan minuman. Setelah kami makan dan minum (sarapan), kami ke rumah Pak
Zamzuri untuk beristirahat. Ketika kami sedang beristirahat, ada seorang utusan
dari desa Cihideung bemama Soleh memberitahukan pesan kepada Fadillah agar
Fadillah kembali ke Cihideung. Sedangkan, yang lain kami tetap tinggal di rumah
Pak Zamzuri menunggu informasi/instruksi selanjutnya. Sekitar pukul 16.00 Wib,
Fadillah datang dari desa Cihideung dan bergabung bersama kami di rumah Pak
Zamzuri. Selanjutnya, kami bermusyawarah dan Fadill mengatakan bahwa Pak
Warsidi menyuruh kami agar berangkat ke Tanjung Karang untuk membuat kekacauan
dan mengalihkan aparat karena sudah terjadi pembunuhan terhadap Kapten Sutiman
di Cihideung. Lalu saya ditunjuk sebagai pimpinannya dan Muklis masuk dalam Tim
kami untuk menggantikan Soni.
Malam harinya, saya mencarter
sebuah kendaraan “Wasis” untuk berangkat menuju Tanjung Karang. Di dalam mobil
tersebut, ada seorang anggota ABRI berpakaian dinas bernama Pratu Budi Waluyo.
Dalam percakapan Heriyanto dengan Pratu Budi Waluyo, Pratu Budi Waluyo
mengatakan bahwa “kompi” nya akan masuk ke Cihideung untuk mengambil jenazah
Kapten Sutiman yang dibunuh oleh kelompok Pak Warsidi. Berdasarkan pengakuan
tersebut, lalu Zainuri memiting Pratu Budi Waluyo dan saya serta Fadillah
menusuk Pratu Budi Waluyo hingga meninggal. Demikian pula, supir dan keneknya
kami tusuk juga namun mereka berdua tidak meninggal dan melarikan diri.
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan Sugeng Yulianto sebagai
supirnya. Sesampainya kami di Tanjung Karang, kami mampir sebentar untuk mengisi
bahan bakar dan Sugeng Yulianto menginformasikan kepada teman-teman bahwa lampu
kendaraan mati tetapi tetap kami melanjutkan perjalanan dengan dibantu dengan
senter. Sesampainya kami di depan kantor Lampung Post, saya turun dan
melemparkan bom molotov yang telah kami persiapkan sebelumnya ke kantor
tersebut. Akan tetapi, bom tersebut tidak meledak, hanya kaca kantor tersebut
yang hancur. Setelah itu, seorang diantara kami mengusulkan agar kami pulang
kembali ke Cihideung. Namun, ditengah perjalanan kami menuju Cihideung, ada
razia dari pihak kepolisian. Karena gugup, maka Sugeng Yulianto tidak
menghentikan kendaraannya dan melanjutkan perjalanan lagi. Karena perasaan
kuatir kami akan dicari aparat, maka saya menginstruksikan agar mobil kita
buang saja ke hutan dan kita mencari mobil lain untuk ke Cihideung. Namun,
karena Sugeng Yulianto tidak mendengar instruksi saya dan mungkin karena gugup,
dia tetap saja menjalankan mobil untuk masuk ke hutan melalui jembatan yang
sedang saya periksa untuk memastikan apakah mobil tersebut bisa lewat jembatan
tersebut. Namun, sewaktu saya belum selesai memeriksanya, Sugeng Yulianto
langsung menjalankan kendaraan tersebut, yang akibatnya mobil terperosok ke
dalam parit. Akhirnya, kami turun dan meninggalkan mobil tersebut di pinggir
sungai Tigeneneng. Kemudian, kami masuk ke dalam hutan dan bermalam di dalam
hutan untuk melanjutkan perjalanan ke Cihideung.
Pagi harinya tanggal 7
Februari 1989, saya membagi Tim menjadi 3 (tiga) kelompok. Saya mengutus 3
(tiga) orang bernama Beni, Muhadi dan Muklis agar mereka berangkat ke Cihideung
untuk meminta petunjuk dari ke Pak warsidi dan apa perintah selanjutnya setelah
kami gagal menjalankan tugas. Sedangkan yang 8 (delapan) orang lainnya menunggu
di hutan. Sekitar pukul 11.00 Wib, Muhadi datang dan membawa makanan sambil
mengatakan “segera tinggalkan hutan ini karena hutan ini sedang dikepung ABRI”.
Lalu, Muhadi langsung pergi. Setelah itu, 8 (delapan) orang yang tersisa, saya
bagi lagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama adalah Saya, Heriyanto
dan Zainuri. Kelompok kedua, Fadillah dan Tardi Nurdiansyah sedangkan kelompok
ketiga Sugeng Yulianto, Abadi Abdullah dan Sodikin. Kemudian, kami berpisah.
Saya, Heriyanto dan Zainuri dengan mengendarai mobil omprengan menuju desa
Cihideung. Kami sampai sekitar pukul 15.00 Wib dan dari jarak
100 meter saya melihat lokasi perkampungan Pak Warsidi sudah terbakar dan ada
seorang anggota ABRI yang sedang berjaga di kebon jagung sekitar 10 meter dari
perkampungan Pak Warsidi. Karena keadaan di sana sudah sepi dan hanya tersisa
rumah-rumah yang terbakar, maka saya dan teman-teman mengurungkan niat masuk ke
dalam perkampungan Pak Warsidi dan pergi menuju rumah kakaknya Heriyanto yang
saya lupa namanya melalui desa Hujan Mas. Dalam perjalanan, turun hujan dan
kemudian singgah sebentar di salah satu rumah warga setempat (orang Lampung)
dan kami diberi makan dan minum. Lalu, warga setempat itu mensetop kendaraan
truk pengangkut batu kali dan kami bertiga menumpang truk tersebut untuk pergi
menuju Kedung Wuni. Setibanya kami di Kedung Wuni, hari sudah malam dan kami
hanya beristirahat sebentar. Melalui informasi dari seorang anak yang berada di
Kedung Wuni, bahwa kami sedang dicari oleh warga setempat dan aparat, maka kami
pergi meninggalkan Kedung Wuni tersebut menuju ke dalam hutan dalam keadaan
hujan. Karena hari sudah gelap dan keadaan masih hujan, maka kami memutuskan
untuk bermalam di hutan sebelum menuju rumah kakaknya Heriyanto.
Subuhnya, tanggal 8
Februari 1989, kami berangkat lagi dengan berjalan kaki dan tiba dirumahnya
kakaknya Heriyanto sekitar pukul 08.00 Wib. Kami diberi sarapan di rumah
tersebut dan setelah itu kami bermusyawarah untuk berangkat ke Jakarta
bergabung dengan kelompok yang berada di Jakarta. Kemudian, kami bertiga berangkat
lagi namun kami berpencar demi keamanan dan keselamatan masing-masing.
Selanjutnya, dengan mengendarai mobil omprengan saya menuju ke terminal
Rajabasa dan melanjutkan dengan kendaraan umum lainnya menuju Tanjung Karang.
Setibanya saya di Tanjung
Karang, saya meminta tolong seorang teman yang mempunyai usaha ekspedisi agar
dapat diberangkatkan menuju Jakarta.
Setibanya di Jakarta,
saya menuju ke rumah kontakan Nurhidayat di Kalimalang yang dijadikan markas
oleh Nurhidayat bagi gerakan yang di Jakarta. Saya disuruh menginap di tempat
tersebut. Di rumah kontrakan Nur Hidayat, saya dan anggota yang lain seperti
Nur Hidayat, Kardi, Darsono, Fauzi masih sering kumpul-kumpul dan berdiskusi,
membuat panah dan menyusun gerakan seperti membakar pom bensin, membakar
pertokoan di Glodok, memanah ABRI-ABRI yang sedang seorang diri. Saya dipercaya
oleh Nur Hidayat untuk pembuatan panah yang jumlahnya hampir ribuan buah.
Sekitar akhir Februari
1989, sekitar pukul 19.00 Wib Nur Hidayat ditangkap dan sekitar pukul 03.00,
saya dan Kardi ditangkap oleh aparat (Laksus) di markas kamitersebut.
Apakah yang Saudara alami
sewaktu Saudara ditagkap oleh aparat tersebut?
Setelah saya dan Kardi
ditangkap oleh aparat, saya dibawa ke Laksus Kramat V. Setibanya di sana, saya
bertemu dengan Nur Hidayat. Di Laksus, saya dimasukkan ke dalam sel dan
diperiksa selama sehari semalam dan dipindahkan ke suatu tempat yang saya tidak
ketahui karena mata saya ditutup dan tangan saya diikat. Setibanya di tempat
tersebut saya dimasukkan ke dalam suatu ruangan yang dipagar dengan kawat anyam
dan diberi kertas agar saya menulis seluruh perjalanan dan kegiatan saya selama
saya di Lampung dan Jakarta. Saya di tempat ini selama 2 (dua) hari dan
kemudian saya dibawa oleh pihak Kejaksaan dan aparat kepolisian menuju Lampung
dengan mata tertutup dan tangan terikat. Setibanya di Lampung, saya dimasukkan
ke dalam sel LP Rajabasa. Setelah beberapa hari, saya berada di sel LP
Rajabasa, kemudian saya diperiksa oleh Jaksa bernama Trimulyo, SH.
Sewaktu Saudara ditangkap
dan ditahan, apakah ditunjukkan dan diberikansurat perintah penangkapan
dan penahanan?
Saya tidak diberikan
apapun.
Apakah dalam peristiwa
penangkapan, perjalanan maupun pemeriksaan, Saudara mengalami penganiayaan atau
penyiksaan?
Ya, saya memang dipukul
oleh aparat sewaktu saya diperiksa oleh aparat.
Apakah Saudara diproses
secara hukum di pengadilan dan berapa lama putusannya?
Ya saya disidang di
pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara dengan putusan seumur hidup. Saya
menjalani hukuman tersebut hanya sekitar 10 (sepuluh) tahun di LP Batu
Nusakambangan. Saya hanya menjalani 10 tahun karena saya mendapatkan amnesti
dari Presiden Habbie waktu itu.
Apakah ada keluarga
Saudara yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut dan bagaimana dengan
korban lainnya?
Keluarga saya tidak ada
yang menjadi korban dan korban yang meninggal adalah lebih dari 50 (lima puluh)
orang.
Apakah akibat peristiwa
Talangsari tersebut, Saudara mengalami kerugian?
Saya tidak mengalami
kerugian karena memang itu sudah resiko perjuangan.
Dengan siapa Saudara
ditahan di LP Batu Nusakambangan?
Saya ditahan di LP Batu
Nusakambangan bersama dengan Abadi Abdullah, Fachruddin dan Sodikin.
Apakah Saudara pernah
mendengar tentang islah dan dapatkah Saudara ceritakan proses sehingga
terjadinya islah?
Ya, saya pernah
mendengarnya dan menurut ajaran Islam, islah adalah adalah saling memaafkan.
Menurut Saudara bagaimana
jika ada pihak lain yang menuntut keadilan karena keluarganya telah menjadi
korban dalam peristiwa Talangsari?
Menurut saya silahkan
saja, itu hak mereka. Tetapi, apakah sebelumnya tidak disadari bahwa melawan
pemerintah akan berakibat seperti ini.
Apakah selain jawaban
Saudara di atas, ada hal-hal yang lain yang ingin Saudara tambahkan?
Saya rasa cukup.
Apakah Saudara bersedia
untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Ya, saya bersedia.
Apakah semua keterangan
yang Saudara sampaikan diatas, adalah benar dan diberikan dengan sukarela dan
tanpa tekanan?
Ya, yang sampaikan adalah
benar dan keterangan yang saya berikan adalah sukarela, tanpa tekanan dari
pihak manapun.
Apakah Saudara bersedia
disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas, apabila diperlukan?
Ya, saya bersedia
disumpah.
Keterangan
Fadilah Kepada Komnas HAM
Selain saya, Fadilah juga
dimintai keterangan oleh Komnas HAM, dengan dasar yang sama yaitu Surat
Keputusan Ketua Komnas HAM nomor 15/KOMNAS HAM/V/207 tanggal 1 Mei 2007.
Berdasarkan surat itu Komnas HAM menugaskan S.A. Supardi (Penyelidik Tim
Ad-Hoc) dan Lamria Siagian (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc). Mereka mengajukan
29 pertanyaan. Keterangan Fadilah di Komnas HAM berlangsung pada hari Jum’at
tanggal 22 Juni tahun 2007, bertempat di rumah Fadillah Wilarso Jl. Sadakanlor
Rt 001/007 Desa Karangalo, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar 57792. Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) nomor 31/TPPT/VI/2007. Selengkapnya sebagai berikut:
Apakah Saudara dalam
keadaan sehat?
Ya, saya sehat.
Apakah Saudara perlu
didampingi?
Tidak perlu.
Apakah Saudara mengetahui
mengapa Saudara diminta keterangan pada saat ini?
Ya, saya mengetahuinya
yaitu untuk menjelaskan kejadian yang saya ketahui, dengar dan alami berkaitan
dengan peristiwa Talangsari 1989.
Apakah Saudara bersedia
memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat
peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan
keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya dan keterangan yang
saya berikan adalah keterangan yang sebenarnya.
Sejak kapan Saudara
tinggal di Jl. Sadakanlor Rt. 001 Rw. 007, Desa Karanglo, Kecamatan
Tawangmangu, Karanganyar 57792?
Saya tinggal di tempat
ini sejak lahir sampai tahun 1984. Pada tahun 1984, saya mempunyai tempat
pengajian di desa Pandean yang jaraknya kurang lebih ½ Km dari rumah saya.
Pengajian saya dianggap bertentangan dengan kebijakan Pemerintah karena
pengajian saya beraliran dengan pengajian Abdullah Sungkar, maka saya akan
ditangkap dan dibawa ke kelurahan untuk diserahkan ke Koramil atau Kepolisian,
saya tidak tahu. Saat Lurah sedang pergi mungkin untuk melapor ke Koramil atau
Kepolisiaan, saya lari. Kemudian, saya berlari dan menemui teman-teman yang
sealiran dengan saya. Dalam pelarian, saya bertemu dengan teman saya bernama
Dalhari Nurmanto yang bertempat tinggal di Lampung, namun pertemuan kami
terjadi di Solo. Akhirnya, saya dibawa ke Lampung, tepatnya di desa Karanganyar
Labuhan Maringgai. Saya tinggal di desa Karanganyar Labuhan Maringgai selama
beberapa bulan dan melihat Pak Warsidi sering ke desa Karanganyar Labuhan
Maringgai. Lama-kelamaan, saya merasakan perjuangan Dalhari Nurmanto melemah
dan pindah aliran yang saya tidak tahu namanya namun yang saya ketahui aliran
tersebut menyatakan bahwa sholat itu belum wajib. Lalu, saya pindah ke tempat
pengajian dan tempat tinggal yang dipimpin oleh Pak Warsidi didesa
Banding-Sukadana. Di tempat ini, saya tinggal selama 3 (tiga) tahun dan
kemudian pindah ke Talangsari diajak oleh Pak Warsidi. Setelah saya pindah ke
tempat Pak Warsidi, saya melihat banyak orang-orang yang dikoordinir Pak
Warsidi sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) pelarian dari Solo dan Jogya.
Lama-kelamaan pengajian yang dipimpin olek Pak Warsidi semakin keras, semakin
menunjukkan ketidaksukaannya kepada Pemerintah pada waktu Itu.
Apakah Saudara mengenal
Zamzuri?
Ya, saya mengenalnya
karena saya pernah diajak Pak Warsidi ke rumah Pak Zamzuri dan saya juga pernah
melihat Pak Zamzuri datang ke pondok.
Apakah Saudara sering
megikuti pengajian yang dipimpin oleh Anwar Warsidi?
Bukan hanya sering bahkan
saya dengan Pak Warsidi serumah dalam waktu yang cukup lama. Meskipun saya
melakukan kegiatan lain seperti menjual buku-buku namun intensitas pertemuan
saya dengan Pak Warsidi sangat intens.
Berapa kira-kira jumlah
jemaah yang rutin hadir mengikuti ceramah Anwar Warsidi?
Yang hadir kira-kira
berjumlah 50 orang.
Apakah materi ceramah
yang seringkali disampaikan oleh Pak Warsidi?
Materi ceramahnya
diantaranya adalah untuk menegakkan hukum Islam dengan cara berjihat, tidak
setuju dengan asas tunggal yaitu Pancasila, tidak boleh hidup dengan peraturan
lain selain hukum Islam seperti jemaah diajarkan untuk tidak perlu membayar
pajak. Supaya tidak membayar pajak, tidak perlu mempunyai hak milik dengan cara
hidupnya menumpang-numpang. Hal ini dilakukan pula oleh Pak Warsidi.
Bagaimana perkembangan
pondok pengajian yang dipimpin oleh Warsidi selanjutnya?
Perkembangan pondok
pesantren semakin lama semakin banyak orang yang datang. Mereka berasal dari
Solo, Jogya, Jakarta, Sidorejo, Bandar Agung dan tempat lain. Sejak kedatangan
orang dari Jakarta yang dipimpin oleh Darsono, Nurhidayat dan Fauzi kegiatan
yang semula hanya pengajian kemudian berubah dengan kegiatan lain yaitu
berlatih beladiri seperti memanah, silat, membuat panah dan bom molotov.
Akibatnya, jemaah di Cihedeung terpengaruh dan mulai pula memesan golok,
membuat panah dan latihan memanah. Sampai-sampai pembuat goloknya kewalahan
karena banyaknya pesanan. Saya sendlripun semakin rajin mengasah golok jika
sewaktu-waktu terjadinya perang.
Apa yang menyebabkan
kegiatan pengajian berubah menjadi kegiatan-kegiatan yang bersifat perang?
Semenjak kedatangan Camat
Way Jepara bernama Zulkifli, terjadi selisih paham atau pertengkaran antara
Camat dengan Pak Warsidi karena Camat menghendaki jemaah kembali taat kepeda
Pemerintah RI dan tunduk kepada segala peraturan yang ada termasuk Pancasila
dan UUD 45 tetapi Pak Warsidi tidak mau. Kemudian, Camat mengundang Pak Warsidi
untuk datang ke Kecamatan. Atas undangan tersebut, dimusyawarahkan oleh Pak
Warsidi dengan jemaah pengajian. Karena waktu itu saya tidak ada di tempat dan
menurut informasi yang kemudian saya dengar dari teman-teman jemaah, ada yang
usul dari kalangan jemaah yaitu Tardi Nurdiansyah mengatakan bahwa
“sebaik-baiknya Umarok yang mendatangi Ulama dan sejelek-jeleknya Ulama yang
mendatangi Umarok”. Oleh karena itu disimpulkan bahwa undangan Camat tersebut
tidak perlu didatangi. Semenjak itu, jemaah semakin semangat semangat untuk
mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu terjadi perang anatara jemaah pengajian
dengan Pemerintah dan ABRI. Maka, kami melakukan penjagaan di sekitar pondok
pesantren setiap malam bahkan pos penjagaan warga setempat/orang kampung juga
kami tempati sehingga mereka tidak bisa melakukan penjagaan di pos tersebut
meskipun biasanya mereka yang melakukan penjagaan.
Apakah yang terjadi
setelah jemaah melakukan penjagaan?
Pada tanggal 5 malam 6
Februari 1989, ada patroli dari pihak Babinsa berkeliling dan mereka melihat
ada orang-orang yang sedang berjaga di pos jaga sebelah Timur pondok (pos-nya
orang kampung). Petugas patroli tersebut menangkap orang-orang yang sedang
berjaga. Petugas patroli menangkap, karena yang sedang berjaga di pos tersebut
bukan orang kampung namun orang dari pondok pesantren, padahal antara orang
kampung dengan orang-orang pondok pesantren sudah terjadi kesalahpahaman. Dalam
penangkapan tersebut, ada jemaah (petugas jaga) yang tidak tertangkap oleh
petugas patroli karena melarikan diri yaitu Ir. Usman yang kemudian melaporkan
kepada Pak Warsidi.
Siapakah nama jemaah
pondok yang ditangkap oleh petugas jaga tersebut?
Setahu saya ada 5 (lima)
orang yang ditangkap namun yang saya ingat namanya hanya Hardiwan karena kakak
Hardiwan adalah teman saya dan tinggal di daerah Klaten-Solo dan sering bertemu
dengan saya. Sedangkan yang lainnya saya sudah lupa.
Apa yang Saudara dan
jemaah lakukan sehubungan dengan penangkapan terhadap warga jemaah pondok
pesantren tersebut?
Atas penangkapan jemaah
pondok tersebut, Pak Warsldl mengumpulkan jemaah untuk berkumpul di depan
Musollah. Pak Warsidi mengumumkan mulai saat ini perang dengan pemerintah RI
dan mengangkat Abdullah Sumeri sebagai panglima perang. Kemudlan Abdullah
Sumerl menunjuk 12 orang yaitu saya, Sodikin asal Solo, Riyanto asal
Tasik, Heriyanto asal Lampung sekarang ada di Magetan, Abadi Abdullah asal
Klaten sekarang jadi ustad di Jogya, Tardi Nurdiansyah asal Solo, Zainuri asal
proyek pancasila Lampung dan yang lainnya yang saya sudah lupa namanya. Saya
ditunjuk sebagai pimpinan Tim tersebut dan
bertugas untuk mencari jemaah yang ditangkap oleh petugas patroli
tersebut.
Pada tanggal 6 Februari
1989 sekitar pukul 01.00, saya dan teman-teman dengan berjalan kaki langsung
menuju Koramil.
Sesampainya di sana
sekitar pukul 06.00, saya melihat orang berkerumun di depan kantor Koramil dan
saya bertanya kepada orang yang sedang berkerumun tersebut “ada apa?” mereka
menjawab “ada orang yang ditangkap”. Saya tanya kembali “mereka ada dimana?”,
mereka menjawab “sekarang sudah dibawa ke Kodim”. Karena yang akan dlbebaskan
sudah tidak ada di Koramil, maka kami pergi. Saya pergi ke Sidorejo ke rumah
Pak Zamzuri sedangkan yang lainnya ke hutan untuk beristirahat. Sesampainya
saya di rumah Pak Zamzuri, saya dikasih uang dan saya kembali lagi ke hutan
untuk bertemu dengan teman-teman yang lain agar membeli nasi. Setelah itu, ada
seorang utusan dari Pak Warsidi datang ke hutan menemui kami. Utusan tersebut
mengatakan agar saya kembali ke pondok pesantern dan saya kembali. Sesampainya
di sana, saya melihat situasi di sana seperti perang. Jemaah pondok banyak yang
membawa senjata seperti golok, panah, parang dan bom molotov. Setelah saya
masuk ke pondok pesantren menemui Pak Warsidi, saya diberitahu bahwa tadi sudah
terjadi perang dan pihak kita sudah berhasil membunuh Kapten Sutiman, merampas
senjata pistol dan 4 (empat) kendaraan sepeda motor. Lalu, Pak Warsidi
menugaskan kepada saya agar membuat huru-hara di luar seperti menyerang Korem
dan diminta untuk memberitahukan kepada Riyanto agar Riyanto yang memimpin
pasukan. Huru-hara ini dimaksudkan untuk mengurangi musuh yang masuk ke pondok
pesantren. Lalu, saya kembali ke hutan dan menemui teman-teman saya yang lain
di hutan sekaligus memberitahu pesan dari Pak Warsidi. Kemudian, kami pergi
Sidorejo ke rumahnya Pak Zamzuri. Sesampainya di sana, saya memberitahu
pesannya Pak Warsidi kepada Pak Zamzuri yang intinya Pak Warsidi menugaskan Tim
untuk melakukan penyerangan di luar dan Tim dipimpin oleh Riyanto. Lalu,
Riyanto menunjuk 11 (sebelas) orang diantaranya Sugeng Yulianto untuk
sewaktu-waktu diperlukan untuk mengemudi kendaraan, Muhklis asal Sidorejo,
Muadi asal Sidorejo, Heriyanto asal Sidorejo, Beni asal Solo, saya sendiri,
Sodikin asal Solo, Tardi Nurdiansyah asal Solo, Zainuri asal proyek
pancasila-Lampung. Selanjutnya, kami menyewa minibus “wasis” untuk ke Korem. Di
dalam mobil, ada seorang anggota ABRI sebagai penumpang bus. Dalam perjalanan,
di dekat hutan Bergen, anggota ABRI tersebut kami bunuh karena dia mengaku
anggota dari Way Jepara dan ikut dalam peristiwa perang di Talangsari. Mayat
ABRI tersebut kami buang, sopir dan kenek bus lari, Sugeng Yulianto mengambil
alih kemudi bus tersebut. Sesampainya, kami di Bandar Lampung dan melemparkan 1
(satu) bom molotov di kantor Lampung Pos tetapi tidak meledak. Kami melanjutkan
perjalanan lagi namun bus tersebut mogok di hutan Tigeneneng dan kami
meninggalkan bus tersebut dipinggir jalan, masuk ke dalam hutan. Di dalam
hutan, kami bermusyawarah dan membagi dalam beberpa kelompok. Saya dan Tardi
Nurdiansyah menjadi 1 (satu) kelompok dan kami kembali ke pondok pesantren. Dalam
perjalanan, kami menginap di rumah saya di Gedong Wani semalam. Lalu kami
berangkat lagi dan sampai di pondok pada tanggal 8 Februari 1989 sesudah isya’.
Saya melihat rumah-rumah sudah rata dengan tanah lalu saya keluar dari lokasi
dan tidur di gubuk di sawah bersama-sama dengan Tardi Nurdiansyah.
Pada tanggal 9 Februari
1989, kami berangkat lagi lewat Pakuanaji. Dalam perjalanan, kami ditanya oleh
warga setempat dan ketika saya mengatakan identitas diri saya, mereka langsung
menangkap kami dan membawa ke rumah lurah Sarnubi. Sesampainya di sana, tidak
lama kemudian datang ABRI, berseragam, bersenjata yang jumlahnya cukup banyak
dan membawa kami ke Kodim. Sesampainya di Kodlm Metro, saya dan Tardi
Nurdiansyah terpisah.
Apakah ketika Saudara
ditangkap oleh ABRI di rumah lurah Sarnubi, Saudara mengalami penganiayaan dan
penyiksaan?
Ya, saya dipukul dan
ditendang dan dimasukkan ke dalam mobil patroli seperti “barang” oleh
masyarakat dan ABRI.
Apakah yang terjadi
terhadap Saudara sewaktu di Kodim Metro?
Sebelum saya dimasukkan
di dalam sel, saya ditanya oleh petugas tentang identitas diri saya. Tidak lama
kemudian, datang Hendropriyono-Danrem Lampung ke Kodim dan memberitahukan
kepada petugas agar saya dibawa ke Korem 04 Garuda Hitam. Saya dibawa oleh
petugas, berseragam ABRI, membawa senapan dengan kendaraan ABRI yang berukuran
besar menuju Korem 04 Garuda Hitam.
Apakah di Korem 04 Garuda
Hitam, Saudara mengalami penganiayaan, penyiksaan dan apa saja pertanyaan yang
diajukan oleh pemeriksa?
Ya, saya mengalami
penyiksaan seperti ditendang. Setelah 2 (dua) hari di sel, saya didatangi oleh
Hendropriyono-Danrem dan Hendropriyono mengatakan “kamu kenapa, mukamu kenapa”
saya katakan ketika saya ditangkap saya dihajar oleh ABRI dan masyarakat yang
menangkap saya. Selanjutnya, Hendropriyono memanggil sipir penjara dan
marah-marah sama sipir penjara karena tempat penahanan saya tidak diberikan
alas tidur. Hendropriyono juga mengatakan “ini tahanan harus diperlakukan
dengan balk, tidak boleh disakiti, tetapi diminta pertanggungjawaban atas
perbuatannya,” dan akhirnya saya diberikan “velbed”.
Dalam pemeriksaan, saya
ditanya mengapa saya melawan Pancasila, UUD 45 dan ingin mendirikan negara
Islam. Jawaban saya pada waktu itu adalah “bahwa Pancasila memang batil”.
Pemeriksaan dilakukan di Korem oleh Jaksa Efendi Pane dan sewaktu sidang
pengadilan, jaksanya juga Efendi Pane. Saya ditahan berpindah-pindah antara
Korem 04 dan LP Rajabasa untuk dilakukan konfrontir dengan tahanan baru di
Korem. Selama dalam tahanan, ada pengacara bernama Suwandi dan Sutan Syahrir
menawarkan dlri untuk mendampingi saya namun saya tolak. Hal ini saya lakukan
karena saya berpendapat bahwa siapapun orang yang tunduk kepada asas
tunggal-pancasila, saya anggap musuh. Mereka mau membela menegakkan hukum
pastilah hukum yang berlaku di negerl ini (KUHP). Sedangkan, saya berjuang
untuk menegakkan hukum Islam.
Setelah 9 (sembilan)
bulan dalam tahanan, saya disidangkan di Pengadilan Negerl Tanjung Karang
dengan putusan dihukum penjara seumur hidup. Lalu, saya dibawa ke penjara
Rajabasa selama kurang lebih 2 (dua) tahun lalu dipindah ke Nusakambangan dan
menjalaninya selama 8 (delapan) tahunan. Menjelang 10 tahun saya menjalani
hukuman, saya mendapat grasi. Awalnya, saya menolak untuk mengajukan grasi
namun ketika Darsono datang dan mengatakan kepada saya agar mengajukan grasi
maka saya mengikutinya. Pada bulan Februari 1999, saya dibebaskan.
Apakah setelah Saudara
dilepaskan, Saudara mendapatkan ancaman atau teror?
Tidak ada, bahkan saya
merasa sangat dihargai oleh masyarakat antara lain menjelang pemilihan lurah,
polsek Tawamangu datang dan menawari saya agar mencalonkan diri sebagai lurah
namun saya menolaknya.
Sewaktu Saudara ditangkap
dan ditahan, apakah ditunjukkan dan diberikansurat perintah penangkapan
dan penahanan?
Saya tidak pernah
mendapatkan surat penangkapan sedangkan mengenai surat penahanan ada dan
perpanjangannya berulang-ulang tetapi saya gunakan untuk melinting rokok.
Apakah setelah Saudara
dilepaskan, Saudara mendapatkan ancaman atau teror?
Tidak ada, bahkan saya
merasa sangat dihargai oleh masyarakat antara lain menjelang pemilihan lurah,
polsek Tawamangu datang dan menawari saya agar mencalonkan diri sebagai lurah
namun saya menolaknya.
Berapa banyak korban
akibat peristiwa Talangsari?
Saya tidak tahu karena
waktu kejadian saya tidak berada ditempat dan pada waktu saya kembali saya
hanya menjumpai rumah-rumah rata dengan tanah.
Apakah akibat peristiwa
Talangsari tersebut, Saudara mengalaml kerugian?
Ya, sampai sekarang saya
tidak pernah bertemu dengan Istri dan seorang anak saya.
Dengan siapa Saudara
ditahan di Nusakambangan?
Heriyanto, Sugeng
Yulianto, Riyanto, Abadi Abdullah, Sodikin, Musonep, Marsudi, Fahrudin, Tardi
Nurdiansyah dan Zamzuri.
Dapatkah Saudara
cerltakan proses sehingga terjadinya islah?
Sewaktu saya keluar
dari penjara kurang dari 1 (satu) minggu, saya dipanggil oleh Darsono untuk
datang ke Jakarta karena akan dilaksanakan acara syukuran di Gedung
Transmigrasi. Tardi Nurdiajnsyah adalah orang yang membacakan pernyataan Islah.
Islah ditandatangant oleh jemaah Talangsari, warga setempat, pihak aparat
diantaranya oleh Hendropriyono.
Apakah dalam islah itu
dinyatakan juga ada syarat seperti rehabilltasi, kompensasi dan reparasi, jika
ada bagaimana pendapat Saudara terhadap hal tersebut?
Kalau ada dari pihak lain
yang melakukannya silahkan saja namun saya tidak mau melakukan itu. Jadi, kalau
pemerintah mau melakukan rehabilltasi, kompensasi dan reparasi silahkan saja
tetapi saya tidak akan memohon karena saya melakukan perjuangan itu hanya untuk
mencari ridho Allah, resikonya saya sudah tahu dan tanggungan sendiri serta
resiko ini merupakan ujian dalam ibadah. Hal tersebut hingga sekarang masih
saya imani.
Apakah selain jawaban
Saudara di atas, ada hal-hal yang lain yang ingin Saudara tarnbahkan?
Ya, kalau suatu saat
kasus ini ada orang-orang yang demostrasi atau melakukan aksi menuntut di bawa
ke pengadilan, komnas HAM dan tempat lainnya mungkin saya tidak datang karena
masalah biaya dan sebagainya, bukan berarti saya setuju. Saya menganggap kasus
Talangsari ini sudah selesai.
Apakah Saudara bersedia
untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Ya, saya bersedia namun
tergantung waktu dan kondisi.
Apakah semua keterangan
yang Saudara sampaikan diatas, adalah benar dan diberikan dengan sukarela dan
tanpa tekanan?
Insya Allah, benar
dan tanpa tekanan dari pihak manapun.
Apakah Saudara bersedia
disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas,
Ya, saya bersedia
disumpah.
Keterangan
Musonef Kepada Komnas HAM
Bersamaan dengan Fadilah,
Komnas HAM juga meminta keterangan dari Muhamad Musonef, jama’ah Warsidi yang
sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari. Muhamad Musonef dimintai
keterangan (24 pertanyaan) oleh Ifdhal Kasim (Penyelidik Tim Ad-Hoc
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari
1989), dan Roichatul Aswidah (Penyelidik Pembantu Tim Ad-Hoc Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Peristiwa Talangsari 1989).
Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) Muhamad Musonef bernomor 33/TPPT/VI/2007 dan pemeriksan berlangsung pada
hari Jum’at tanggal 22 Juni tahun 2007, bertempat di Desa Sadakanlor Rt 001/007
Desa Karangalo, Kec Tawangmangu, Kota Karanganyar 57792. Selengkapnya sebagai
berikut:
Apakah Saudara dalam
keadaan sehat?
Ya, saya sehat.
Apakah Saudara mengetahui
mengapa Saudara dipanggil untuk diminta keterangan?
Ya saya mengetahui yaitu
untuk diminta keterangan mengenai peristiwa talangsari, lampung 1989.
Apakah Saudara bersedia
memberikan keterangan sebagai saksi dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat
peristiwa Talangsari 1989 dan apakah keterangan yang akan diberikan merupakan
keterangan tidak lain dari yang sebenarnya?
Ya saya bersedia.
Apakah Saudara mengenal
Warsidi dan apa yang Saudara ketahui tentang kegiatan Warsidi?
Saya datang ke Lampung
pada Juli 1986 di pondok pesantren Al Islam Way Jepara yang berjarak 15 km dari
Cihideung untuk mengajar di pesantren tersebut. Sekitar satu setengah tahun
kemudian, saya berkenalan dengan Bapak Warsidi, karena Pak Warsidi sering
silaturahmi ke Al Islam. Pak Warsidi mengajak ke penegakan agama Islam, karena
satu pikiran, saya bergabung dengan Pak Warsidi. Saya kemudian sering datang ke
Cihideung untuk mendengar ceramah Pak Warsidi juga mendiskusikan bagaimana kita
taat kepada Allah dan menjadikan Islam sebagai tuntunan termasuk sebagai
undang-undang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya, kami
berusaha untuk menegakkan Syariat Islam. Saat itu saya mondar-mandir Way
Jepara-Cihideung. Kegiatan kami banyak mendapat tantangan dan bersinggungan
dengan masyarakat sekitar dan menyebabkan hubungan yang tidak harmonis
dengan masyarakat. Tokoh masyarakat juga tidak berkenan dengan kegiatan.
Pak Sukidi sebagai kadusnya merasa curiga karena banyak kegiatan tetapi tidak
ada laporan ke dia sebagai kadus. Saya dengar dari Pak Warsidi, Kadus
melanjutkan laporan tentang kegiatan Pak Warsidi yang mencurigakan ke kepala
desa dan ke kecamatan karena semakin banyak tamu baru terutama dari Solo dan
Jakarta tetapi tidak melaporkan. Apalagi ada kegiatan lain yang lebih membuat
kecurigakan misalnya latihan memanah dan bela diri yang dilakukan setiap malam
hari walau tidak sering. Saya sendiri juga mengikuti latihan tersebut, tetapi
tidak sering karena kegiatan saya sendiri tinggal di Way Jepara.
Informasi dari
teman-teman, kira-kira bulan Januari 1989, saya dengar pak Warsidi dikirimi
surat dari camat Way Jepara, Zulkifli Maliki yang memanggi Pak Warsidi untuk
datang ke kecamatan. Saya dengar, Pak Warsidi menjawab untuk bermusyawarah
dengan para jamaahnya, apakah perlu mendatangi pak Camat atau tidak. Saya
mengetahui bahwa ada usulan jawaban dari jamaah bahwa “sebaik-baik umaro’
adalah yang mendatangi ulama dan sejelek-jelek ulama adalah yang mendatangi
umaro’” Yang saya tahu, pihak kecamatan kemudian tersinggung. Keadaan
masyarakat di Cihidueng kemudian dalam kondisi memanas. Akibatnya dari anggota
jamaah mempersiapkan diri bila terjadi sesuatu khususnya dari segi keamanaan.
Pikiran kami, karena kami tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah saat itu,
yaitu kami menegakkan syariat Islam, tentu ada konsekwensi terutama dari segi
keamanan. Kami menyiapkan dengan lebih intensif dalam latihan bela diri,
memanah dan berjaga malam.
Apa yang Saudara ketahui
tentang Peristiwa 6 Februari 1989?
Saat bulan Februari
sebelum kejadian, di Pondok Al Islam, ada beberapa santri yang sudah bergabung
pondok Warsidi di Cihideung. Kegiatan belajar mengajar di Pondok Al Islam
kemudian berhenti karena sebagian besar murid, belasan orang, pindah ke pondok
Warsidi. Oleh karena itu, pada sekitar 3 atau 4 Februari 1989, saya kemudian
bersilaturahmi ke tempat wali murid dengan dua orang santri di daerah Sumber
jaya Lampung Utara dan menginap di sana selama dua hari. Kemudian, sekitar
tanggal 5 Februari, saya pulang ke Way Jepara melalui proyek Pancasila di sana
ada keributan yang saya tidak tahu. Sesampai di Pesantrean Al Islam, pada 6
Februari 1989, saya dengar ada peristiwa kedatangan aparat kecamatan bersama
rombongan Koramil di Pondok Warsidi. Saya dengar rombongan itu diserbu jamaah
Warsidi yang mengakibatkan tewasnya kapten Sutiman.
Apa yang Saudara ketahui
tentang Peristiwa Sidorejo dan Peristiwa Tatangsari?
Mendengar tentang
peristiwa itu saya kemudian menyuruh santri yang ada di pondok Al Islam untuk
pulang. Saya mengantar mereka sampai Sumber Jaya. Saya menginap dua hari di
sana di rumah wali santri yang saya lupa namanya. Oleh karena itu, saya tidak
tahu tentang peristiwa Talangsari tanggal 7 Februari 1989. Saya juga mendengar
peristiwa Sidorejo dari kawan-kawan. Saya dengar bahwa jamaah Warsidi bentrok
dengan aparat kepolisian dan kepala desa Sidorejo. Yang saya tahu mereka yang
terlibat adalah Salman Suripto, Pak Roni, Munzaini, dan Fachrudin. Saya juga
dengar tentang pembunuhan di bis Wasis. Saya mendengar peristiwa Sidorejo saat
sudah berada di Korem. Saya kenal semua dengan mereka. Saya kenal juga dengan
Abadi dan Riyanto, Nurdiansyah dan Yulianto yang terlibat di dalam peristiwa
mobil Wasis.
Bagaimanai proses
penangakapan terhadap Saudara?
Saya ditangkap kira-kira
pada 9-10 Februari 1989, kira-kira sore hari. Saat saya sedang jalan-jalan,
satu orang aparat Koramil bersama yang saya tahu aparat desa mendatangi saya.
Aparat Koramil menanyakan apakah saya anggota jemaah Warsidi dan saya mengakui.
Saya tidak mengelak karena hal itu merupakan keyakinan saya. Saya kemudian
dibawa ke Koramil Sumber Jaya dengan mobil suzuki carry dan dikawal oleh aparat
dari Koramil. Saya singgah sebentar di Koramil Sumber jaya dan ditanya oleh
beberapa petugas Koramil dengan pertanyaan yang sama saat penangkapan dan saya
menjawab dengan jawaban yang sama pula. Saya kemudian dibawa ke Korem Garuda
Hitam. Sejak penangkapan sampai saat itu tangan saya tidak diborgol.
Apa yang kemudian
terjadi?
Saya sampai di Korem pada
sekitar jam delapan malam. Saya kemudian diistirahatkan di dalam mobil selama
beberap jam dan kemudian dibawa ke ruang pemeriksaan. Saya ditanya oleh sekitar
2-3 orang yang diantaranya berpakaian seragam dan berpakaian preman. Mereka
bertanya apakah saya anggota jemaah warsidi yang berusaha untuk
memperjuangkan agama Islam secara kaffah. Saya jawab iya.
Saya juga ditanya apakah saya membunuh atau menciderai aparat kemanaan, saya
jawab tidak dan apabila terjadi bentrokan dengan aparat, itu merupakan resiko
dalam memperjuangan Islam sebagai hukum atau tatanan dalam masyarakat dan
bernegara. Untuk menerapkan itu kami melakukan latihan memanah dan bela diri
untuk menghadapi aparat keamanan. Mereka menjawab bagus. Saya diperiksa sekitar
3-4 jam. Saya dimasukkan ke LP Rajabasa malam itu dengan mobil Korem bersama
dengan beberap orang yang saya lupa nama mereka.
Selama saya di LP dan di
Korem saya bertemu dengan teman-teman saya yang saya kenal (yang saya sebutkan
di atas terkait peristiwa Sidorejo) termasuk juga Pak Zamzuri yang saya kenal
karena saya sering main ke rumah pak Zamzuri.
Apa yang terjadi terhadap
Saudara selama Saudara berada di LP Rajabasa?
Sesampai di LP Rajabasa
saya dimasukkan ke sel yang layak yang dihuni 6-10 orang. Saya tidak mengenal
jauh mereka yang satu sel dengan saya. Saya diperiksa di Korem sampai sekitar
Mei 1989. Pemeriksaan biasanya berlangsung dua kali seminggu dimana setiap
pemeriksaan berlangsung kira-kira 3-4 jam. Biasanya saya dijemput jam 9 pagi
sampai jam 2 sore. Selama pemeriksaan di Korem saya tidak mengalami penyiksaan
hanya dibentak. Saya diperiksa oleh aparat Korem, sementara untuk saat
pemeriksaan perkara saya juga diperiksa oleh polisi dan Kejaksaan. Saat itu
saya diberi tahu bahwa saya melanggar ideologi negara Pancasila dan ingin mengganti
dengan syariat islam atau sistem Islam. Saat diperiksa saya bertemu sekilas
dengan Pak Hendro.
Apakah ada prosedur
penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat? Misalnya
menunjukkan surat perintah penangkapan dan penahanan?
Sampainya di Rajabasa
saya menandatangani surat penahanan dan diperlihatkan surat penahanan itu.
Begitu pula saat penangkapan.
Apakah keluarga Saudara
dapat mengunjungi Saudara saat Saudara berada di LP Rajabasa?
Saya dapat dikunjungi
oleh keluarga saat berada di LP Rajabasa. Dua kali keluarga saya mengunjungi
saya. Mereka mengunjungi saya dari pagi-sore. Saya juga diperbolehkan menerima
barang. Selama di LP saya diberi makan yang layak, dua kali sehari. Pagi
sarapan ubi jalar dan siang makan nasi sementara malam tidak diberi makan.
Apakah ada proses
peradilan terhadap Saudara, mengapa dan bagaimana putusannya? Selama dalam
proses persidangan, apakah Saudara didampingi oleh penasihat hukum.
Setelah pemberkasan, saya
ditawari oleh jaksa untuk didampingi pengacara tetapi saya tidak mau.
Pengadilan juga menawari saya untuk didampingi, tetapi saya tidak mau karena
saya berhukum dengan hukum Allah dan berlindung dengan Allah dan bukan dengan
hukum manusia. Dalam persidangan sayu dituduh merongrong ideologi Pancasila dan
mendirikan negara Islam. Satu lagi tudahannya saya lupa. Intinya, tuduhannya
subversif. Saya lupa ancaman hukumannya. Saya divonis 20 tahun sebagai
konsekwensi menantang Pancasila sebagai idologi negara. Persidangan itu
berlangsung kira-kira 4-5 kali. Saksi-saksi dalam persidangan saya adalah pak
Fadhillah, dan juga teman saya di pesantren Al Islam ustad Muhammad Idris,
Lurah Labuhan Ratu I Way Jepara Suroso, Ketua Yayasan Al Islam Maulana dan yang
lain saya tidak ingat. Tidak ada saksi dari MUI Lampung dan juga tidak ada
saksi dari tentara.
Apa yang Saudara rasakan
dengan proses persidangan tersebut? Apakah menurut Saudara berjalan dengan
adil?
Saya merasa tidak ada
beban menjalani proses persidangan tersebut. Karena hal ini saya terima sebagai
konsekwensi dari perjuangan dalam menegakkan syariat Islam serta memurnikan
ajaran Islam yang sebenarnya.
Dimana Saudara menjalani
masa hukuman setelah putusan pengadilan?
Saya tetap ditempatkan di
LP Rajabasa sampai bulan Juli 1991. Keluarga saya masih bisa berkunjung dan tidak
ada perlakuan kasar terhadap saya. Saya kemudian dipindahkan ke Nusakambangan.
Di LP Nusakambangan, saya ditempatkan di LP Permisan. Saya berada di sana
dengan Salman Suripto dan Syukur (putra pak Marsudi). Saya berada di
Nusakambangan sampai masa reformasi.
Apa kegiatan Saudara
selama di Nusakambangan?
Saya mengikuti kegiatan
pengajian, dan ketrampilan dengan membuat cincin dan pertanian. Selama saya di
sana tidak ada petugas Kodim atau pun Korem yang datang.
Bagaimana proses
pembebasan terhadap Saudara?
Saya mendengar tentang
pembebasan saya dari membaca Koran Suara Merdeka dan dari radio sebelum
mendengar dari Kalapas. Empat hari kemudian, saat itu bulan puasa, saya
diberitahu oleh Kalapas bahwa saya bebas. Saya dibebaskan pada 27 Ramadhan atau
19 Januari 1999. Saya dijemput oleh keluarga dan teman-teman di Solo.
Apakah Saudara dikenai
wajib lapor setelah dibebaskan? Setelah Saudara dibebaskan, apakah Saudara
mendapatkan teror, ancaman dan atau perlakuan lain?
Saya tidak dikenai wajib
lapor dan diancam serta tidak diawasi. Saya dapat hidup layak sebagai anggota
masyarakat. Setelah dibebaskan saya wirausaha dengan membuat makanan kecil dan
tidak mendapat kesulitan.
Setelah dibebaskan apakah
Saudara pernah bertemu dengan Sdr. Hendropriyono?
Saya pernah ketermu Pak
Hendro sekali, setelah dilepaskan. Saat itu Pak Hendro menjabat sebagai Menteri
Transmigrasi dan PPH. Kami bertemu di Deptrans dan PPH dalam rangka islah.
Waktu itu saya datang bersama, yang dari Solo: Fadhillah, Sugeng Yulianto,
Tardi Nurdiansyah, Sodikin, Sofian, Fachruddin, Abadi Abdullah, Munzaini,
Salman Suripto; dari Jakarta adalah Sudarsono dan Fauzi Isman, dan Pak Zamzuri
dari Lampung. Yang lain saya lupa. Penggagas islah adalah Sudarsono, Fauzi
Isman dan Nurhidayat dalam rangka mengusulkan pembebasan kami yang ada di
Nusakambangan. Saat bertemu dengan Pak Hendro, saya tidak begitu jelas apa yang
dibicarakan tetapi intinya adalah untuk memperbaiki nama baik narapidana. Saat
itu soal ekonomi tidak tercetus tetapi ada sebagian teman-teman yang dibantu
melalui proyek transmigrasi misalnya ada teman yang mengerjakan proyek tambak
udang Dipasena, Lampung. Saya tidak tahu persis siapa yang mengerjakan tambak
udang itu. Kami sendiri tidak setuju, karena setelah pembebasan perlu adaptasi
dengan lingkungan.
Apakah Saudara memiliki
saksi-saksi atau bukti-bukti yang menguatkan keterangan Saudara?
Saya mempunyai
saksi-saksi seperti Abadi Abdullah, Munzaini, dan Pak Fadhillah. Dokumen sudah
hilang termasuk alat bukti panah. Surat pembebasan saya sudah tidak ada.
Adakah hal-hal lain yang
perlu Saudara sampaikan?
Permasalahan Lampung
adalah peristiwa yang wajar sebagai konsekuensi dari perjuangan, yang berwujud
clash antara aparat keamanan dan jamaah, yang kemudian diadakan suatu islah
yang merupakan jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan kasus ini. Dengan
demiklan, tidak terjadi ketidakadilan hukum yang dimanfaatkan oleh orang-orang
tertentu yang menginginkan kompensasi atau materi lainnya.
Apa yang Saudara harapkan
dari pengusutan perkara ini secara hukum?
Saya merasa tidak perlu
menyelesaikan perkara ini secara hukum. Tetapi dalam jalan Islam dengan jalan
islah atau misalnya secara rekonsilaisi seperti di Afrika Selatan. Saya
menginginkan penyelesaian perkara ini lewat cara itu.
Apakah Saudara bersedia
untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan?
Insyaallah saya bersedia.
Apakah semua keterangan
yang Saudara sampaikan di atas, diberikan dengan sukarela dan tanpa tekanan?
Ya dengan suka rela untuk
mencapai kebaikan.
Apakah Saudara bersedia
disumpah atas kebenaran keterangan Saudara diatas, apabila diperlukan?
Ya saya bersedia.
***
Muhamad Musonef dalam
kasus Talangsari sebenarnya layak disebut korban. Berbeda dengan saya (Riyanto)
dan Fadillah, Muhamad Musonef tidak ikut berperang dan merencanakan
peperangan. Lulusan ponpes Ngruki ini dikikrim oleh ustadz-nya untuk mengisi
tenaga pengajar di ponpes Al-Islam di Kecamatan Way Jepara. Ponpes Ngruki
memang punya tradisi menyebar lulusannya ke berbagai ponpes di seluruh pelosok
nusantara.
Meski tidak ikut
berperang dan merencanakan peperangan, Musonef mengetahui adanya rencana perang
melawan aparat yang dirancang jama’ah Warsidi. Ia secara terus terang dan jujur
mengakui sebagai anggota jama’ah Warsidi dan mempunyai kesepahaman ideologis
dengan Warsidi. Meski tidak intensif, sesekali Muhamad Musonef juga ikut
latihan memanah dan sebagainya.
Perlakuan aparat terhadap
Muhamad Musonef tentu berbeda, karena ia tidak ikut merancang dan melancarkan
perang ideologis. Musonef tidak mendapat perlakuan keras dari aparat,
penangkapannya juga dilengkapi dengan surat-surat yang diperlukan.
Sumber:
http://riyantolampung.blog.com/2011/09/10/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-03/
No comments:
Post a Comment