BEBERAPA
NAMA DAN SAKSI PALSU
Oleh RIYANTO (Mantan
Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)
DARI sejumlah nama yang
terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus
Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang
bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso danPurwoko.
Azwar Kaili
Keterkaitan Azwar Kaili
dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal.Pertama, ia
merupakan simpatisan anggota jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh
Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan anak buah
Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak
hanya Azwar Kaili yang aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan
Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak kandungnya
masing-masing bernama Iwan, Haris, dan Ujang.
Kedua, melalui sosok
Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar
mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono. Almarhum
Warsito diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya masih belasan,
Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid. Akibat binaan
Abdullah, Warsito dan beberapa teman sebayanya menjadi sosok yang militan.
Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi
menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988
Keberangkatan Warsito ke
Cihideung bukan sekedar mau nyantri, tetapi memang untuk mati syahid, dalam
sebuah peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah
muhajirin dari Jawa. Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito
bersama Zulkarnaen dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak
Zamzuri), pamitan kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.
Menurut ingatan Zulfikar,
sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito menyampaikan sebuah
pesan kepada adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu
–yang kemudian menjadi pesan terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati dik,
tolong dirawat ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap mati
syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang dalam
rangka jihad.
Namun, oleh Azwar Kaili,
kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel. Pada program
Buser Petang di SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File
yang tayang 22 September 2003, Azwar Kaili mengaku-ngaku sebagai korban kasus
Talangsari. Padahal ia bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan
ditahan, tapi bukan karena terlibat kasus Talangsari. Melainkan, untuk kasus
semacam praktek ilegal sebagai mantri.
Kasus Azwar itu bersamaan
dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi. Ketika itu, hampir seluruh anggota
pengajian yang diselenggarakan Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan ditahan,
namun dilepaskan kembali setelah dipastikan tidak ada keterkaitan dengan kasus
Talangsari. Kepada Abdul Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di
Indonesia: Peristiwa Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan selama tiga
bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan
pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.
Berkenaan dengan Warsito,
Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk
nyantri, dengan berbekal uang seribu rupiah dan seekor ayam. Padahal,
sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke
Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).
Azwar Kali juga
mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang dikumpulkannya sejak masih
bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Peristiwa pembakaran
itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil. Pernyataan tersebut,
setahu kami tidak benar. Karena, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas
diri Azwar Kaili, namun tidak ada pembakaran dan perampokan terhadap harta
bendanya.
Pengakuan dusta Azwar
Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh Hendropriyono.
Sekitar September 2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada Sukardi
(salah seorang pelaku kasus Talangsari) untuk bertemu dengan Hendropriyono,
dengan maksud untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia
derita berkenaan dengan kasus Talangsari.
Permintaan itu tidak
dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono sedang bertugas ke luar negeri.
Maka, Azwar Kaili pun memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu
satu bulan tidak bisa dipertemukan dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan
tuntutan. Lalu muncullah testimoni dustanya di SCTV.
Dua anak Azwar Kaili yang
dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan Ujang, belakangan hari tersandung
tindak kriminal. Keduanya ditangkap aparat kepolisian karena menjadi penadah
sepeda motor curian di Lampung.
Meski cuma menempuh
pendidikan sampai kelas tiga SMP, Azwar Kaili pada masa itu dikenal sebagai
tenaga kesehatan (mantri swasta) yang merangkap sebagai penjual obat.
Keterampilan sebagai mantri kesehatan termasuk suntik-menyuntik dan pengobatan,
diperolehnya melalui seorang mantri kesehatan yang di desa Sidorejo.
Nasib baik rupanya
berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya sebagai mantri kesehatan kian
berkembang. Apalagi Azwar beristrikan seorag bidan, sehingga mendongkrak
tingkat kepercayaan masyarakat sekitar terhadap kiprah Azwar sebagai mantri
kesehatan. Lebih jauh, Azwar dan istrinya mendirikan klinik kesehatan dan
bersalin. Kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan semakin diterima masyarakat
karena ia tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Sebenarnya masyarakat
sudah mulai tahu bahwa praktek Azwar Kaili sebagai mantri kesehatan tergolong
ilegal. Namun karena selama ini tidak terjadi masalah, dan tidak ada patokan
tarif, maka terjadilah proses pembiaran yang berlangsung lama. Apalagi Azwar
bertutur kata lembut dan termasuk orang lama di Sidorejo.
Namun demikian, sejumlah
mantri kesehatan di kawasan itu merasa bertanggung jawab terhadap etika profesi
dan keselamatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili
bukan mantri kesehatan yang berlisensi. Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung
jawab itu sejumlah tenaga kesehatan di sana melaporkan kiprah Azwar ke
Kecamatan.
Akhirnya, Azwar Kaili
diperiksa pihak Kecamatan, kemudian dipersilakan pulang, setelah pemeriksaan
dianggap cukup. Ketika Azwar pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan bagian
dari kasus Talangsari (7 Februari 1989). Menurut keterangan dari Zamzuri,
ketika itu istri Azwar ikut aktif menangani korban luka yang tergeletak di
depan rumah Zamzuri. Oleh para mantri kesehatan yang sebelumnya sudah tidak
berkenan dengan kiprah Azwar Kaili, maka peristiwa itu dijadikan alasan untuk
melaporkan keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo. Maka, Azwar pun akhirnya
ikut dibawa ke kantor Korem Garuda Hitam.
Setiba di kantor Korem
Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang selama ini dikenalnya, seperti Sugeng
Yulianto (salah seorang jama’ah Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain
Sugeng, Azwar Kalili juga mendapati Zamzuri sedang diperiksa aparat.
Berdasarkan keterangan dari Zamzuri bahwa Azwar tidak tahu menahu dan tidak
terlibat kasus Sidorejo dan Talangsari, maka pihak aparat Korem pun
membebaskannya.
Menurut Zamzuri kala itu,
Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat peristiwa Sidorejo dan Talangsari.
Ketika peristiwa itu terjadi, Azwar Kaili sedang menjalani pemeriksaan di
kantor kecamatan sehubungan dengan pengaduan Dahlan (mantri kesehatan
setempat), yang melaporkan praktek ilegal yang dilakukan Azwar Kaili. Rumah
Azwar Kaili juga tidak terbakar atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa
yang marah pasca terbunuhnya Lurah Arifin Santoso dan Kapospol Serma Sudargo di
rumah Zamzuri yang berdekatan dengan rumah Azwar Kaili.
Di era reformasi, ketika
kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka sejumlah LSM seperti Kontras dan
Komite Smalam, memanfaatkan kondisi ini untuk mencari-cari celah berkiprah
dengan cara mengungkap kasus masa lalu seperti kasus Talangsari. Media massa
ikut meramaikan kiprah Kontras dan Smalam. Azwar berada dalam putaran arus
kebebasan berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras dan SMALAM
seraya membawa pernyataan bahwa dia adalah salah satu korban kasus Talangsari.
Gayung pun bersambut.
Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar sebagai dasar berpijak mengajukan
tuntutan. Azwar ditampilkan seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang
telah mengalami penyiksaan luar biasa. Kontras dan Komite Smalam telah
menjadikan korban palsu sebagai dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang
hanya membuat Kontras dan Komite Smalam terperosok ke kubangan penuh dusta dan
sandiwara.
Padahal, sebagaimana
keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah Sidorejo)
yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi
korban peristiwa Sidorejo. Ketika kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada
di rumah maupun di lokasi kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima
uang ‘duka’ dari Hendropriyono karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon
tewas di Talangsari.
Jayus alias Dayat bin Karmo
Dalam kasus Talangsari,
Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang kedua
setelah Warsidi. Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki
lahan seluas satu setengah hektar. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi
dengan tujuan jelas, membangun komunitas Islami di Cihideung.
Semula, dukuh Cihideung
hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan keluarga Jayus, serta beberapa kerabat
dekat mereka. Cihideung yang semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan
yang ramai, setelah dihuni para muhajirin dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah)
yang sengaja hijrah ke cihideung dengan membawa anggota keluarga masing-masing.
Ketika itu, jilbab masih
terlihat aneh di mata orang kebanyakan. Sedangkan muslimah yang datang dari
Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) itu termasuk yang aktif mengenakan busana
muslimah dengan gamis lebar dan kerudung lebar. Masyarakat sekitar tidak hanya
memandangnya dengan rasa aneh, tetapi juga memendam kecurigaan. Sejumput
kecurigaan yang ada di dalam benak masyarakat kian membesar ketika Warsidi
sebagai pimpinan komunitas sama sekali tidak melaporkan kedatangan para
muhajirin dan keluarganya itu kepada aparat desa terdekat. Akhirnya, dilandasi
kecurigaan yang kian membuncah, masyarakat sekitar pun melaporkan keberadaan
komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.
Sukidi Haryono (Kepala
Dusun Talangsari III)
Kian hari masyarakat
sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif tentang sepak-terjang komunitas
Warsidi. Dalam rangka merespon isu negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah
jama’ah Warsidi lainnya mendatangi rumah Sukidi Haryono (Kepala Dusun
Talangsari III). Jayus dan kawan-kawan mendatangi Sukidi dengan berbekal
senjata berupa parang, seraya mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang dapat
merugikan jama’ah Warsidi, misalnya melaporkan keberadaan komunitas Warsidi
kepada pihak aparat keamanan.
Menurut kesaksian Sukidi,
beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari 1989) silam,
sejumlah anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang
dianggap telah membocorkan semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah.
Mereka, antara lain Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang
kala itu baru berusia 16 tahun).
Setelah peristiwa itu,
menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan dibunuh
oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi
dan keluarganya mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas,
karena jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter.
Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak
dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda Abdurahman melakukan ronda
malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari
1989 malam).
Saat ronda, mereka
memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing
sambil membawa senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu
meringkus kelima orang tersebut, yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi.
Kelimanya kemudian dibawa ke Koramil Way Jepara.
Jayus selama ini dikenal
sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara Islam,
dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan.
Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektar merupakan bukti kongkrit keseriusan
Jayus dalam hal ini.
Di tahun 2001, berbagai
media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Komite Smalam
untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang
diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap
kembali kasus Talangsari. Padahal, sebelumnya, di tahun 2000, pada forum ishlah
nasional yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan
keluarga korban serta warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan
Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan dan alasan
yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari
untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping
untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan aparat
beserta keluarganya masing-masing.
Jayus sejak saat itu nampaknya
sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial.
Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat. Dulu, Hendropriyono
pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah
miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa
Mega. Permintaan itu dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser
pun.
Di antara para elite
kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, ia
hanya menjalani masa penahanan selama satu tahun.Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah
almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca:
berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang
berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni. Berkat informasi dari
Jayus, banyak jama’ah Warsidi yang berhasil ditangkap aparat. Karena telah berjasa,
maka aparat Korem memperlakukan Jayus sebagai tahanan sangat istimewa
dibandingkan dengan perlakuan aparat terhadap jama’ah Warsidi lainnya.
Karena menjalani hukuman
paling ringan, maka Jayus sudah menghirup udara bebas ketika sebagian besar
jama’ah Warsidi yang tertangkap masih meringkuk di dalam tahanan. Para napol
kasus Talangsari serendah-rendahnya divonis 10 tahun, sebagian lainnya bahkan
divonis seumur hidup.
Karena bebas lebih dulu,
Jayus mempunyai peluang untuk mengeksploitasi narapidana kasus Talangsari yang
masih mendekam di tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana kasus
Talangsari ke berbagai organisasi atau kepada perseorangan yang menaruh
simpati. Dengan dalih mengumpulkan dana untuk membantu para jama’ah Warsidi
yang masih berada di dalam penjara. Jayus meraih keuntungan dari kasus
Talangsari.
Begitu juga ketika
sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus termasuk
yang merintis islah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan
ishlah itu. Bahkan Jayus sempat diberi kepercayaan untuk mengkoordinir gerakan
islah bagi para jama’ah Warsidi di Talangsari Lampung. Padahal, jama’ah yang
dimaksud itu sebenarnya anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri yang belum
tentu terlibat dalam kasus Talangsari. Ketika menghadap LBH, yang dibawa Jayus
juga anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang diakui sebagai korban kasus
Talangsari. Sebagai mantan pelaku kriminal, naluri kriminal Jayus rupanya tetap
hidup, meski ia bertahun-tahun menjadi jama’ah Warsidi.
Terbukti, di kemudian
hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang ia rintis. Jayus nampak seperti
orang bingung. Faktanya, hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu
hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima
ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus
satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah
kemudian menolak kembali karena punya motif komersial.
Sikap mencla-mencle Jayus
ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang
sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah
kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota
keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih
tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati
keluarga korban dan anggota keluarganya sendiri.
Meski Jayus bukan
representasi dari keluarga korban pada umumnya. Namun ia mampu membujuk
sejumlah orang untuk mengaku sebagai mantan anggota Jamaah, untuk dibawa
menghadap LBH Lampung. Padahal, orang-orang yang dibawanya itu, tak lain
merupakan anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum
mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang
berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.
Mengapa Jayus mencla-mencle?
Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam
proses awal, Jayus telah mengajukan permintaan sejumlah uang kepada
Hendropriyono, untuk dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari. Dana
yang diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang, dengan alasan dana
itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban dan keluarga korban
Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar belakng
Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.
Rupanya Jayus kecewa
karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan islah
yang sudah disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta
selalu menghalanginya bertemu dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan
oleh Kontras dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap
kembali kasus Talangsari.
Untuk meyakinkan Kontras,
Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung bersamanya
mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM. Agar warga Talangsari tertarik,
Jayus mengumbar janji akan memberikan sejumlah uang kepada mereka yang bersedia
ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah
enggan dan tak sudi mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya
berhasil membawa lima warga asli Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.
Karena lima terlalu
sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk
ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban
Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli
Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN
(Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga
bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.
Jayus tidak sekedar
membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang domisilinya
berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih
cerdas dibanding para korban Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa
diperalat Jayus, Sukidi tidak demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk
Sukidi (mantan Kadus Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus
dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.
Sayang, Pak Sukidi tidak
sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus Talangsari bagi
kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus
Talangsari).
Di tahun 2002, sekitar
bulan September, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Sukardi, berkunjung ke
Lampung, antara lain bersilarturahmi ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak
berapa lama, datang pula Jayus dan Suroso. Karena menganggap Sukardi orangnya
pak Hendro, Jayus langsung menebar ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke
kantor Komite Smalam dan kantor LBH Lampung untuk melaporkan penemuan barunya
berkaitan dengan kasus Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak sambal.
Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili minta dipertemukan dengan Hendropriyono.
Apabila pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka akan menghentikan segala
tuntutan terhadap kasus Lampung, mencabut pula tuntutan Kontras dan Komite
Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada konfirmasi positif,
maka mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap kasus Lampung bersama
Kontras dan Komite Smalam. Rupanya, bukan hanya Purwoko dan Suroso yang
berhasil diperalat Jayus, juga Kontras dan Komite Smalam.
Pada kesempatan itu,
Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah orang yang ditenteng-tenteng
Jayus menghadap LBH, dan diakui sebagai korban kasus Talangsari. Mereka adalah
Gono, Sutris, Cipto, Paimun, Budi Santoso, Mardi, Surip dan Kasman. Ternyata,
tidak satu pun dari mereka yang dikenal Sukardi. Mereka memang bersedia
dilibatkan dalam “proyek” yang direkayasa Jayus, untuk mendapatkan sesuatu
sesuai dengan janji yang pernah diumbar Jayus.
Begitulah kenyataannya.
Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita mendirikan negara
Islam, mendirikan Islamic Village di Cihideung.
Sugeng Yulianto
Sugeng Yulianto merupakan
salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode pembajakan bus
“Wasis” dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur
hidup. Lulusan STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai
sopir, dan merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi
yang ditugaskan oleh imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai
upaya mengalihkan perhatian petugas.
Pria kelahiran Solo tahun
1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi khususnya di cabang Sidorejo
pimpinan Pak Sediono. Ia menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi didorong oleh
kesadarannya sendiri.
Sugeng Yulianto alias
Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang No. 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi
pidana penjara selama seumur hidup. Namun berkat dorongan kawan-kawan dan
perjuangan Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi
dan PPH, maka Presiden Habibie memberikan grasi kepada napol kasus Talangsari
melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1999.
Perjuangan Hendropriyono
membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no.
R-028/Mentras/08/1998 tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri Transmigrasi dan
PPH memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada
Presiden Republik Indonesia.
Selain melalui surat,
Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung RI, yang waktu itu jabat oleh
Mayjen AM. Ghalib, Menteri Kehakiman Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan
Ketua MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa Agung RI melalui suratnya Nomor:
R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998 turut menyarankan kepada Presiden
untuk menyetujui permohonan Menteri Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol
peristiwa Lampung atas nama Fauzi dkk.
Barulah sebulan kemudian,
Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung, melalui suratnya No: R-311/ M.
Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober 1998 berkirim surat kepada Menko Polkam,
Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan
tentang petunjuk Presiden agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol
peristiwa lampung atas nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.
Ketika kasus Talangsari
terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto sudah memasuki angka 30. Ia bukan
anak-anak lagi. Sehingga, keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi
merupakan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkannya.
Alasan yang mendasari
Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena tertarik oleh
bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah mencari
nafkah, juga dapat menjalankan ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam
persidangan, Sugeng Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan
orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh
kelompok Warsidi. Bila tidak mau, dirinya akan dibunuh.
Tardi Nurdiansyah
Meski usianya masih
belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan salah
satu jama’ah Warsidi yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan
yang melakukan ancaman dan teror kepada Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III).
Tardi Nurdiansyah yang lahir di Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh
pendidikan di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah
satu dari sebelas orang yang ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka
yang ditangkap aparat Koramil.
Sejak masih di Jakarta,
Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pelaku kasus Talangsari. Bahkan sosok
Warsidi sudah dikenalnya dengan baik sebelum pecah kasus Talangsari.
Keakrabannya dengan Warsidi membuat Tardi memutuskan untuk hijrah ke Lampung.
Apalagi, di Cihideng ada kakaknya yang sudah lebih dulu berdiam di sana. Di
Cihideng Tardi merasakan suasana yang sama dengan Ponpes Ngruki tempat ia
menempuh pendidikan. Berbekal pendidikan di ponpes Ngruki, Tardi pun
mengamalkan ilmunya, mengajar mengaji bagi orang-orang di sekitar itu.
Dalam pandangan Tardi,
kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk membangun
masyarakat dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan
pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan pengajiannya adalah untuk
menapat ridho Allah (mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam,
meski pengetahuan agama Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah
dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang eksklusif mengakibatkan aparat
menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.
Tardi juga berpendapat,
kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden atau
musibah saja, sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi
dengan aparat desa (pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi,
pada saat kejadian, dia sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan
pulang ke Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika sampai di daerah
Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal sebenarnya, ia anggota pasukan
khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah Warsidi yang ditahan
aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga. Tardi satu
kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok kedua.
Sebagaimana Sugeng
Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor
1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana penjara
selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di msa Presiden Habibie,
bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.
Pengakuan Tardi yang
cenderung apologis itu ada kalanya dijadikan dasar bertindak bagi LSM tertentu
untuk memposisikan kasus Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Sikap Tardi bisa dimaklumi, karena ketika kasus Talangsari terjadi, ia masih
berusia belasan, namun harus menerima vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.
Yang tidak bisa
dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo, yang menjadi orang kedua
setelah Warsidi di komunitas Cihideung. Ia menerima vonis yang ringan, meski
pernah terlibat mengancam aparat dusun. Bahkan ketika sebagian besar jama’ah
Warsidi dalam gundah gulana di dalam pelarian, Jayus justru sudah menjadi
bagian dari aparat yang ketika itu gencar menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu
aneh jika di masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat kasus Talangsari
berusaha kuat melupakan masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha
mengungkit kasus itu kembali, hanya semata-mata untuk mendapatkan keutungan
materiel.
Bahkan, lebih jauh, Jayus
memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat kriminalnya. Ia
memperalat Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.
Suroso dan Purwoko
Suroso sebenarnya sama
sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus Talangsari
terjadi, usia Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu
menahu soal kasus Talangsari. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan,
kediaman orangtua Suroso tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan
dengan lokasi kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah
Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas Jama’ah Warsidi. Namun
demikian, orangtua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi yang
menjadi tetangganya.
Karena bertetangga dengan
Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus Talangsari, rumah orangtua Suroso
dirusak dan dijarah oleh penduduk sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar
menduga, keluarga orangtua Suroso merupakan salah satu provokator terjadinya
kasus Talangsari.
Terjadinya perusakan
sekaligus penjarahan terhadap rumah orangtua Suroso, karena sepengetahuan
warga, keluarga Suroso dikenal sebagai mantan anggota parpol terlarang (PKI).
Warga juga menilai, kedekatan keluarga orangtua Suroso dengan Warsidi membuat
mereka memposisikan keluarga orangtua Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi,
ketika itu, emosi warga belum sepenuhnya terlampiaskan, sehingga pelampiasan
disalurkan kepada keluarga orangtua Suroso.
Nama dan sosok Suroso
yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tiba-tiba
menyeruak begitu saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi
bersama Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
Dalam momen ini, Suroso yang pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru
bicara oleh Jayus. Suroso mau diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan
(materi).
Selain Suroso, yang
juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko bernama
Supardi, merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari
1989). Kepada Radar Solo beberapa tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya
masih berusia 11 tahun ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan
salah seorang yang memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban)
yang menyepakati proses islah yang digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia ikut
islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus pula yang
menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin persekongkolan
dengan Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
Pada tanggal 6 Februari
1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko sedang berada di
lokasi Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa
orangtuanya ngungsi ke rumah Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan
pondok. Sementara itu, ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan
yang sudah direncanakan.
Ketika aparat Korem
Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989), Purwoko sedang bersiap-siap
untuk shalat Subuh. Ketika itu, Purwoko mendengar bunyi rentetan tembakan
senapan tentara berkumandang dari arah selatan Dusun Talangsari. Warga
berhamburan ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga
ada di dalam hati Purwoko, namun sang ibu (Saudah), menyuruh Purwoko dan kedua
adiknya untuk bersembunyi di kolong tempat tidur.
Saat itu, di rumah Jayus,
ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang bersembunyi. Tak
berapa lama, Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak
memanggil mereka yang sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara.
Dalam hitungan menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah
itu, Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100
meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita,
anak-anak, serta orang tua.
Karena Jayus merupakan
orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga Jayus
sudah mati tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena
Purwoko dianggap dapat mengenali sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk
mengenali sejumlah jasad korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko
justru menemukan jasad Supardi, ayah kandungnya.
Tak berapa lama kemudian,
karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa ke Markas
Komando Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia
bertemu Jayus, pamannya, yang ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian,
Purwoko, adik-adiknya, dan ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim
Piatu Lempasing Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan
teman-teman dan tetangganya yang sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda
Hitam.
Pada awal 1990, ibunya
membawa mereka kembali ke Solo. Di sana, Purwoko dipercaya merawat rumah kos milik
seorang temannya di bilangan Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko ke Jakarta
untuk menyelesaikan sekolah. Inforasi terakhir yang saya peroleh, Purwoko
sempat bekerja di toko besi di daerah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kalau Jayus benar-benar
mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu, sudah pasti
Purwoko tidak akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus
Talangsari dan tampil di media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu,
Jayus pula yang membawa-bawanya untuk ikut proses islah.
Fauzi Isman dan Islah
Islah sesungguhnya
merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, saya tidak paham mengapa islah
menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri.
Belakangan, barulah saya tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan
karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.
Sebagaimana saya ketahui
kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan napol
kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan
Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua
tokoh ini di mata umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap
bermasalah. Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus
diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari pihak pelaku
kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara Fauzi
Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.
Pada mulanya, gagasan
islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono dalam kapasitasnya sebagai tokoh
nasional yang kebetulan menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika
itu, berinisiatif menjalin tali silaturahmi dengan para napol kasus Talangsari,
korban, dan keluarganya. Drs. AMF diminta bantuannya sebagai mediator.
Belakangan, Drs. AMF mengajak serta Drs. AYW yang sebelum pecah kongsi
merupakan teman baik.
Undangan silaturahmi dari
Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF kemudian disampaikan kepada Fauzi
Isman. Maka, terjadilah pertemuan (silaturahmi), antara Hendropriyono dengan
sejumlah pelaku kasus Talangsari seperti Fauzi Isman, Sudarsono, Sukardi,
Maulana Abd Latif, dan sebagainya. Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung
sekitar awal Mei 1998 itu, berlangsung di kantor Departemen Transmigrasi dan
PPH. Pada kesempatan ini, Drs. AMF sebagai mediator turut hadir.
Ketika itu, Fauzi Isman
memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah satu usulannya adalah meminta
bantuan Hendropriyono untuk mengusahakan agar napol kasus Talangsari
dibebaskan. Ketika itu, usulan Fauzi Isman disambut baik oleh Hendropriyono.
Namun demi memenuhi rasa keadilan, maka Hendropriyono kala itu juga
berinisiatif untuk mempertemukan antara pelaku kasus Talangsari, korban kasus
Talangsari dan keluarganya di satu pihak dengan para keluarga korban dari pihak
aparat. Dari sinilah muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.
Bahkan ketika itu, Drs.
AMF selaku mediator juga mengusulkan agar pada pertemuan berikutnya diundang
juga KH Gani Maskur dari Bima (NTB). Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF
dipercaya mengatur kedatangan KH Gani Maskur dan lain-lainnya. Maka, pada bulan
Juni 1998, terjadilah pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan
keluarganya baik dari pihak aparat maupun dari pihak sipil.
Sukardi, yang sudah ikut
silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan berseberangan, dan bahkan bergabung
dengan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi,
karena antara Sukardi dengan Fauzi Isman terjadi perbedaan pendapat. Barulah di
tahun 2002, Sukardi menyadari kekeliruannya, dan kembali berislah secara
pribadi dengan Hendropriyono, seraya meninggalkan Kontras.
Hendropriyono sebenarnya
menaruh kepercayaan yang begitu tinggi terhadap Fauzi Isman, untuk mengurusi
aspek kesejahteraan para jamaah Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu
disalahgunakan oleh Fauzi. Ia menfaatkan itu untuk kepentingan pribadinya.
Antara lain, Fauzi merekayasa sebuah proposal yang ditujukannya kepada
Hendropriyono, untuk mendapat kucuran dana mendirikan sebuah perusahaan yang
direncanakannya. Proposal itu dipenuhi Hendropriyono. Dana tiga ratus juta
rupiah pun mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana sebanyak itu bisa mengcur,
berkat jaminan sertifikat rumah Hendropriyono.
Namun, setelah dana
mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata Fauzi sama sekali tidak
memperhatikan nasib para jama’ah Warsidi. Beberapa orang jama’ah yang bekerja
di perairan laut Banten pada sebuah perahu pencari ikan tidak menerima gaji
sebagaimana kesepakatan sebelumnya.
Arifin bin Karyam, yang
bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama tiga bulan oleh Fauzi, sementara
itu Fauzi Isman sulit sekali ditemui. Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan
pekerjaannya dan kembali ke Brebes, Jawa Tengah meski tidak membawa gaji yang
menjadi haknya.
Bisnis Fauzi Isman di
perairan laut Banten yang mempekerjakan beberapa orang jama’ah Warsidi
(termasuk Arifin bin Karyam), mengalami kerugian karena manajemen buruk dan
Fauzi ingkar janji. Fauzi juga dinilai tidak memiliki itikad baik untuk
meningkatkan kesejahteraan jama’ah Warsidi seperti diamanahkan Hendropriyono.
Karena tidak mendapat keuntungan dari perusahaan yang didirikannya itu, Fauzi
Isman pun berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab. Lebih jauh dari itu,
Fauzi mengkhianati gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi kemudian
meminta dukungan Kontras dalam melakukan serangan terhadap Hendropriyono,
dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang dikatakannya sebagai pelanggaran
HAM.
Sebelumnya, Fauzi bersama
Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban Kekerasan Militer). Lembaga ini dibentuk
lewat sebuah jumpa pers di Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di
Jakarta.
PENUTUP
SETIAP perbuatan
melahirkan serangkaian konsekuensi, berupa pertanggung jawaban sosial di
hadapan masyarakat, di hadapan mahkamah hukum dunia dan mahkamah Allah.
Apalagi, bila perbuatan itu diatasnamakan Allah dan agama Islam yang luhur.
Bila sesuatu perbuatan itu diatasnamakan Allah dan agama Islam, namun
kenyataannya bertentangan, maka perbuatan itu sudah dapat dikategorikan sebagai
memfitnah Allah, agama Islam serta umat Islam.
Dalam pandangan hukum
dunia, saya sebagai pelaku kasus Talangsari sudah mempertanggung-jawabkan
perbuatan saya dengan mendekam di LP Nusakambangan. Ketika itu, saya divonis
seumur hidup. Namun, Alhamdulillah, berkat keseriusan kawan-kawan dan
perjuangan Hendropriyono sebagai tokoh nasional, maka saya mendapat grasi dari
Presiden BJ Habibie. Sehingga, pada tanggal 16 Januari 1999 saya mendapat Surat
Lepas dari LP Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Surat Lepas saya itu
ditandatangani oleh Supardi, Bc. Ip. Kepala Lembaga Pemasyarakat (LP) Batu,
Nusakambangan. Pembebasan itu didasarkan pada Kepres RI no. 101/G Th. 1998
tanggal 31 Desember 1998.
Ternyata, selama saya
masih mendekam di LP Batu, Nusakambangan, telah berlangsung sejumlah peristiwa
yang berkaitan dengan pelaku dan orang-orang yang terkait kasus Talangsari. Di
antaranya, silaturahim dan islah di antara pelaku kasus Talangsari dengan
korban dari pihak sipil maupun aparat.
Begitu saya keluar dari
kerangkeng, islah sudah bergulir. Bahkan tak berapa lama, mereka yang semula
memprakarsai islah justru berbalik menolak islah bahkan menuntut kasus
Talangsari diungkap dan membidik Hendropriyono yang pada waktu itu menjabat
Danrem Garuda Hitam dan memimpin penyerbuan ke Cihideung untuk diproses secara
hukum.
Ternyata, belakangan saya
mulai menyadari, mereka yang mengajukan tuntutan itu sebelumnya adalah
orang-orang yang memprakarsai islah. Bahkan mereka sudah pula menikmati ‘dana kerohiman’
dari Hendropriyono. Seharusnya, bila mereka benar-benar beriman kepada Allah,
tidak patut sama sekali mereka melakukan tuntutan kepada orang yang sudah
memberi ‘santunan’ sekecil apapun.
Sikap mereka itu membuat
saya prihatin. Karena, masyarakat bisa menilai keseriusan mereka di dalam
memperjuangkan sesuatu yang diyakininya. Kalau dulu berkoar-koar mau mendirikan
negara Islam, mau menegakkan syari’at Islam, bahkan dengan cara kekerasan
sekalipun, namun belakangan hari justru menuntut santunan. Celakanya lagi,
santunan yang diajukan dikemas bagai pemerasan, dengan dalih untuk modal usaha
dan untuk mensejahterakan jama’ah.
Apa-apa yang ditunjukkan
oleh sebagian pelaku kasus Talangsari, sesungguhnya amat sangat jauh dari sikap
yang Islami, dan amat sangat jauh dari sikap seorang mujahid. Seorang mujahid
akan berjuang tanpa pamrih, sampai titik darah penghabisan. Kalau toh akhirnya
harus kalah juga, itu merupakan resiko perjuangan. Hanya mujahid palsu yang
setelah kalah berperang justru minta disantuni.
Komnas HAM sebagai
lembaga negara, meski independen, tidak semestinya berpihak kepada para pelaku
kasus Talangsari yang punya motif komersial, padahal sebelumnya mereka dengan
jelas merancang perlawanan terhadap negara, terhadap pemerintahan yang sah.
Dalil membela HAM yang
dijadikan landasan Komnas HAM sama sekali tidak boleh mengabaikan kedudukan
‘klien’ yang bersangkutan. Apabila jelas sang ‘klien’ itu merupakan kelompok
yang jelas-jelas pernah punya rencana melawan negara, maka mereka sama sekali tidak
patut diurus oleh Komnas HAM. Selama Komnas HAM masih dibiayai oleh negara,
masih menggunakan fasilitas negara, maka selama itu pula Komnas HAM harus
mendahulukan kepentingan negara. Itulah yang membedakan Komnas HAM dengan
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bila tidak, maka sama saja Komnas HAM telah
berkhianat kepada kepentingan negara, sehingga lebih baik dibubarkan.
Ada sebuah pepatah yang
berbunyi: sekawanan burung lebih cenderung bergerombol dengan sesamanya. Bila
sekawanan burung tadi dipersonifikasikan dengan sekawanan orang yang suka
berkhianat, maka dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat berupa: sekawanan pengkhianat lebih
cenderung bergerombol dengan sesamanya.
Sumber:
http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/
No comments:
Post a Comment