Wednesday, February 4, 2015

Peristiwa Talangsari Lampung Adalah Peperangan Melawan Thogut





Oleh Riyanto, mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi

PERISTIWA Talangsari-Lampung 1989 adalah tindakan radikal, anarkis, bahkan subversif, yang memang direncanakan. Selain direncanakan, juga merupakan perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama berlandaskan penanaman doktrin ideologis yang keliru.

Rencana menuju perbuatan radikal, anarkis bahkan subversif itu dapat dilihat dari kronologis berikut ini:

Sejak September 1988, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.

Dari pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang.

Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic Village di seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai basis gerakan. Untuk membangun Islamic Village ini, pada Oktober 1998 Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan berangkat ke Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin kelompok pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5 hektar.

Masih pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama-sama dengan Fauzi Isman, Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar Warsidi (Lampung), yaitu Ir. Usman, Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah). Isi pertemuan pada dasarnya menyetujui adanya kerja sama membangun Islamic Village.

Rencana membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan kian dipertegas ketika Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama Fauzi Isman berangkat ke Lampung, melakukan pembicaraan dengan Anwar Warsidi, intinya:

Pertama, Anwar Warsidi menerima “keputusan Cibinong” (12 Desember 1988) tentang dijadikannya Lampung sebagai basis perjuangan (Islamic Village).
Kedua, Jama’ah Lampung bersedia menjadi “kaum Anshor”.
Ketiga, Jama’ah dari Jakarta yang akan ke Lampung harus mendapat rekomendasi dari Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, atau Fauzi Isman atau Sudarsono.

Sebagai tindak lanjut pertemuan dan keputusan tersebut, maka pada Januari 1989, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib memberangkatkan sejumlah orang dari Jakarta, yaitu Alex (beserta keluarga), Margo, Sugeng, Muslim, Sukardi (beserta keluarga), Sofyan, Arifin, Ucup, Heru Saefudin, Iwan, Fahrudin, Kasim, Joko, ke Lampung. Bersamaan dengan rombongan itu, melalui Alex, dititipkan sejumlah 300 anak panah.

Cita-cita jangka pendek membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan, musnah seketika, bersamaan dengan terjadinya insiden berdarah yang menewaskan Kapt. Inf. Soetiman, di tangan mbah Marsudi, kakak kandung Anwar Warsidi, pada 6 Februari 1989, menjelang dzuhur.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya eksodus. Sebagian dari para muhajirin (yang semula terdiri dari sekitar 100 jiwa) itu meninggalkan Cihideung, hingga tertinggal beberapa Kepala Keluarga yang berjumlah sekitar 58 jiwa.

Pada tanggal 7 Februari 1989, pukul 03:00 pagi, pasukan Korem Garuda Hitam tiba di lokasi. Melalui pengeras suara, petugas berulangkali memperingatkan Warsidi untuk segera menyerahkan jenazah Kapten Inf. Soetiman. Namun tak dihiraukan. Ketika pagi mulai menyeruak, ada yang memberi komando untuk berjihad. Serta-merta, jama’ah Warsidi pun berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok menyerang petugas.

Terjadilah peperangan (qital) yang tidak seimbang. Peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketika peperangan (qital) terjadi, jumlah jama’ah Warsidi yang berada di TKP Cihideung pasca eksodus adalah 58 jiwa. Dari 58 jiwa, hanya tujuh jiwa yang selamat (hidup) termasuk Jayus dan mbah Marsudi.

Dari sejumlah 51 jiwa yang tewas, ada yang tewas karena peperangan (Lelaki dewasa), sedangkan wanita dan anak-anak tewas akibat terbakar bersama-sama dengan terbakarnya pondok yang mereka jadikan tempat tinggal. Siapa yang membakar pondok? Dugaan kuat mengarah kepada Muhammad Ali alias Alex.

Tanggal 7 Februari 1989, pukul 07.00 wib, Loso (saat itu 60 th) dan Kamarudin (saat itu 30 th), warga Pakuan Aji yang menjadi pemandu garis depan, mendengar ada orang merintih-rintih di dalam sebuah pondok.

Kedua orang ini mencari tahu, dari mana suara itu berasal. Belakangan diketahui, seseorang membacok anggotanya sendiri, ketika hendak menyerahkan diri kepada aparat. Kamarudin malah melihat, bangunan rumah bambu itu kemudian dibakar oleh anak buah Warsidi. Pukul 11.30 wib (menjelang Lohor), kobaran api yang melahap pondok Warsidi beserta isinya baru bisa dipadamkan.

Pasca Peperangan

Beberapa hari setelah peperangan, pada tanggal 10 Februari 1989 berlangsung sebuah pertemuan di kediaman Mafaid Faedah Harahap (Gang H. Jalil, Dukuh Atas, Jakarta Pusat). Selain tuan rumah, pertemuan ini dihadiri oleh Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Fauzi Isman, Wahidin, Ridwan, Maulana Abdul Lathief, dan Sukardi, untuk membahas peristiwa Lampung.

Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:

Pertama, melakukan gerakan balasan di Jakarta dan berbagai daerah lain yang memungkinkan untuk itu.
Kedua, mengirimkan utusan ke berbagai daerah.
Ketiga, membuat anak panah beracun dan bom molotov.
Kempat, menetapkan nama gerakan dengan Front Komando Mujahidin (FKM).
Kelima, membuat selebaran tentang Maklumat Komando Mujahidin dan Tragedi Talangsari III Lampung.

Pada tanggal 11 Februari 1989 di bengkel Yus Iskandar, Kompleks Seroja Bekasi, dan di Pangkalan Jati Jakarta Timur, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Iwan, Sukardi, Fauzi Isman, Sofyan dan saya (Riyanto) membuat ratusan anak panah yang terbuat dari jeruji sepeda motor.

Gerakan balasan sebagaimana disebutkan tadi, direncanakan akan terlaksana 2 Maret 1989, berupa: meledakkan/membakar pasar Glodok, Pasar Pagi, Pompa bensin di sepanjang Jalan Jen. Sudirman, Jalan Jen. Gatot Subroto, hingga ke kawasan Tanjung Priok.

Rencana tersebut belum sempat terlaksana, karena aparat telah lebih dulu melakukan penangkapan pada akhir Februari 1989, terhadap Nurhidayat bin Abdul Mutholib dan kawan-kawan, kecuali Mafaid Faedah Harahap dan Wahidin.

Nurhidayat sejak awal tahun 2000 membubuhi ‘marga’ Assegaf di belakang namanya. Bahkan sejak beberapa tahun belakangan, ia melengkapi namanya dengan ‘predikat’ habib. Padahal dia bukan keturunan Arab, bukan pula habib.


Tentang Nurhidayat

Nurhidayat pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah aksi radikal yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari-Lampung (Februari 1989).

Rencana aksi radikal yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi oleh sebuah ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam. Ambisinya itu dimulai dengan membuat semacam “negara” di dalam negara.

Di “negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan, dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya.

Nurhidayat dan kawan-kawan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah memerintahkan untuk membuat “kota perjuangan” sebagai basis pergerakan, di Talangsari.

Sebagai Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke Talangsari. Bahkan siapa saja (dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud melaksanakan hijrah ke Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji kepada kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-bai'at (sumpah setia dan taat kepada Nurhidayat tanpa boleh ditentang), bahkan siap mati untuk perjuangan menegakkan syariat Islam.

Jadi sejak awal, mereka yang berhijrah atau dihijrahkan ke Talangsari, Lampung, sudah bertekad untuk berjuang sampai mati.

Tentang Azwar Kaili

Nama Azwar Kaili berulang kali menghias media massa setiap ada gerakan KONTRAS mengeksploitasi kasus Talangsari. Siapa Azwar?

Pria kelahiran Pariaman (Sumatera Barat) tahun 1942 ini hanya sempat duduk di bangku kelas III SMP (1957). Azwar tidak sempat menamatkan pendidikannya karena masuk Tentara Pelajar Pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bagian kesehatan.

Pada tahun 1959, ia merantau ke Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, dengan profesi sebagai agen rokok cap Gentong.



Pada tahun 1966 Azwar kembali ke Pariaman untuk menikah. Setahun kemudian ia kembali ke Tanjung Karang, namun usaha  agen rokok yang dilanjutkan kakak kandungnya telah bangkrut. Sisa modal digunakan untuk membuka warung nasi masakan padang yang tidak berhasil, sehingga beralih usaha menjadi pedagang kain keliling.

Sekitar tahun 1969 Azwar bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan membuka Desa Sidorejo di kawasan Hutan Lindung Gunung Balak. Ia berjualan obat-obatan dan sejak itu berprofesi sebagai mantri kesehatan swasta di Desa Sidorejo.

Azwar ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri, tetangga dekatnya.

Dua puteranya ikut pengajian Abdullah, mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah yang ditampung Zamzuri. Pada 4 Januari 1989 kedua puteranya ikut pengajian di Umbul Cihideung atas ajakan Abdullah. Kedua puteranya termasuk korban Peristiwa 7 Februari 1989.

Sebagai penduduk Sidorejo, Azwar Kaili tergolong aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak buah Warsidi bernama Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Begitu juga dengan Warsito, anak angkat Azwar. Putra Azwar Kaili yang pernah ikut-ikutan Warsito mengaji kepada Abdullah seluruhnya empat orang, tiga lainnya adalah Iwan, Haris, dan Ujang.

Meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Dulah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota Jama’ah Warsidi sekurangnya sejak tahun 1988. Warsito dan beberapa teman sebayanya sudah menjadi sosok yang militan akibat binaan Dulah.

Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama anak pak Sediono (almarhum terlibat kasus Talangsari) yaitu Zulkarnaen dan Zulfikar, juga anak pak Zamzuri (Isrul Koto) mereka pamit kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.

Ada satu momen khusus yang masih teringat, bahwa anak Pak Sediono yang bernama Zulfikar (teman Warsito) sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, menyampaikan kata-kata akhir kepada adiknya: “seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…”

Di sebuah media Azwar Kaili mengatakan, bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang Rp 1.000 dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).

Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan. Hal ini terjadi pada hampir semua orang yang punya kaitan dengan pengajian yang diselenggarakan Dulah. Namun tidak lama, setelah melalui proses pemeriksaan, dan tidak terbukti ada kaitan dengan kasus Talangsari, maka mereka pun dilepas, termasuk Azwar, yang tidak ditemukan indikasi keterkaitannya dengan gerakan separatis Warsidi kecuali sebagai jamaah pengajian biasa.

Di sebuah media Azwar mengakui, bahwa rumah dan harta lainnya yang ia kumpulkan sejak masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Proses pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil.

Pernyataan itu jelas tidak benar. Setahu kami, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri beliau, namun tidak ada pembakaran dan perampokan atas harta benda beliau.

Menurut hemat saya, motif yang melandasi Azwar Kaili bukanlah sesuatu yang luhur (demi kemaslahatan ummat atau korban) tetapi semata-mata ingin mencari peluang mendapatkan keuntungan materiel (finansial) dengan mengeksploitasi (mengkomersialkan) keterkaitan dirinya dengan anak angkatnya yang bernama Warsito.

Apalagi di usianya yang kian senja, Azwar Kaili juga harus berhadapan dengan kenyataan pahit: dua orang anak kandungnya (Haris dan Ujang) pernah ditangkap aparat kepolisian karena terlibat tindak kriminal, mereka berdua menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung beberapa tahun lalu.

Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2015/02/04/peristiwa-talangsari-lampung-adalah-peperangan-melawan-thogut-699946.html

Tuesday, February 3, 2015

Berdalih HAM untuk Menstigma Islam




BERDALIH  HAM UNTUK  MENSTIGMA  ISLAM
Wawancara dengan mantan Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi Lampung


RIYANTO, salah seorang pelaku kasus Talangsari-Lampung (1989), melihat adanya sebuah fenomena yang membuatnya miris: sekelompok orang yang dulu berkoar-koar berjihad di jalan Allah, melawan thagut, namun belakangan justru terlihat giat melakukan tuntutan ganti rugi, seraya memposisikan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM.

Bagi Riyanto, yang pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Khusus Jama’ah Warsidi, dan terlibat pembunuhan aparat militer, sikap seperti itu hanya merendahkan diri yang bersangkutan, sekaligus membuka peluang untuk dimanfaatkan oleh pegiat HAM yang diduga mempunyai agenda tersendiri.

Lelaki berkulit sawo matang kelahiran Desa Comal (Jawa Tengah) tanggal 02 Februari 1951 ini, divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tanggal 04 Januari 1990, dan sempat menjalani masa-masa hukumannya di LP Batu Nusakambangan.
 
Sebenarnya Riyanto sudah siap menjalani masa tuanya di Nusakambangan. Bahkan di dalam hati ia sempat berkata: “… di sinilah kuburan saya kelak…” Namun ketika reformasi bergulir, pemerintahan Habibie membebaskannya pada 16 Januari 1999 berdasarkan Kepres RI No. 101/C Th. 1998 bertanggal 31 Desember 1998.

Berikut petikan wawancara yang dilakukan relawan nahimunkar.com dengan Haji Riyanto bin Suryadi. Wawancara berlangsung hari Rabu, 9 November 2011, sebagai berikut:

Apa yang membuat anda risau dengan pengungkapan kasus berdarah di masa lalu, khususnya kasus Talangsari-Lampung yang terjadi pada Februari 1989?
Begini. Membela hak asasi warga negara yang didzalimi  memang sesuatu yang mulia. Tetapi, menjadikan hal itu sebagai komoditas untuk menjaga eksistensi kelompok atau lembaga, bahkan menjadikan hal itu sebagai salah satu sumber dana atau penghasilan, jelas tercela.

Anda menuduh…
Bukan menuduh, tetapi berdasarkan fakta yang ada di sekitar saya sendiri. Saya melihat sendiri ada diantara kawan-kawan seperjuangan yang semula berkoar-koar berjihad, menentang Pancasila, melawan thagut, kini setelah bebas dari penjara justru mengajukan tuntutan ganti rugi. Berjihad kok pamrih.

Hubungannya dengan aktivis atau lembaga pegiat HAM?
Ditunggangi, dimanfaatkan. Aktivis atau lembaga pegiat HAM itu sebenarnya punya agenda tersendiri. Yang jelas, manfaatnya jauh lebih banyak untuk mereka sendiri, bukan untuk para pejuang labil ini.

Apa agenda mereka?
Yang jelas untuk menjaga eksistensi mereka, juga untuk mencari dana. Dan yang lebih miris, menurut pandangan saya, dalam rangka menyegarkan memori publik bahwa Islam lekat dengan kekerasan. Jadi, sedikitnya ada tiga hal yang mereka peroleh. Yaitu popularitas dan eksistensi, dana, dan stigmatisasi terhadap Islam. Itu mereka lakukan dengan dalih membela HAM. Yang jelas, bagi mereka urusan popularitas dan duit lebih utama, meski harus menstigma Islam.

Tapi, mereka juga mengungkap kasus lain seperti Trisakti dan Semanggi (Mei 1998)?
Iya. Tapi berbeda. Kasus Trisakti dan Semanggi layak dikategorikan pelanggaran HAM, sedangkan kasus Lampung adalah perjuangan ideologis.

Pada kasus Trisakti, sejumlah mahasiswa yang sedang berada di halaman kampus ditembaki di bagian vital hingga tewas. Ini jelas pelanggaran HAM. Sedangkan kasus Lampung, memang sejak awal diniatkan untuk memerangi sesuatu yang dikategorikan sebagai thagut. Diniatkan sebagai jihad. Dalam jihad, tidak ada istilah kalah. Meski mati ditembak, tetap menang di mata Allah. Insya Alah demikian.

Para pegiat HAM termasuk Komnas HAM tidak mau membedakan ini. Mereka menyamaratakan, bukan karena berpihak kepada kemanusiaan khususnya umat Islam, tetapi, menurut saya, untuk memberikan stigma kepada Islam dan umat Islam.


***

Menurut penuturan Riyanto, ia sebenarnya termasuk yang tidak akan dibebaskan karena dianggap telah membunuh prajurit TNI. Namun berkat kegigihan sejumlah aktivis Islam dan rekan-rekan kasus Lampung yang telah lebih dulu bebas, akhirnya Riyanto dibebaskan juga oleh Presiden Habibie. Sejumlah Jenderal diantaranya Feisal Tanjung, Hendropriyono, Maulani, dan sebagainya turut meyakinkan Habibie untuk membebaskan seluruh tapol-napol kasus Islam.

Melalui blog pribadinya (riyantolampung.blog.com), Riyanto sempat mengungkapkan isi hatinya, antara lain:

Kami para pelaku kasus Talangsari sendiri sudah berusaha sedemikian jujur dan terus terang mengakui, bahwa peristiwa itu memang sebuah gerakan radikal, sebuah peperangan yang direncanakan, sebuah perlawanan terhadap negara kesatuan RI yang sah yang didasarkan pada doktrin keagamaan tertentu yang waktu itu kami yakini kebenarannya. Kini, itu semua sudah kami posisikan sebagai lembaran masa lalu yang tak layak diungkit karena begitu menakutkan dan menyakitkan.

Para pelaku Talangsari sudah sepenuhnya menyadari bahwa radikalisme di Talangsari tak perlu diungkit meski dengan alasan HAM sekalipun. Apalagi pengungkapan kembali kasus itu memanfaatkan orang-orang yang tidak layak dijadikan narasumber. Komnas HAM dan juga Kontras sebaiknya arif bijaksana menyikap hal ini. Tidak ada seorang pun yang mau masa lalunya diungkap. Apalagi masa lalu yang penuh kegetiran.

Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– memang sengaja ingin terus menghidup-hidupkan citra buruk tentang Islam, bahwa Islam selalu dekat dengan radikalisme. Seolah-olah Komnas HAM –dan juga Kontras– selalu ingin menjaga ingatan masyarakat tentang radikalisme yang kami lakukan atas nama agama di masa lalu tetap hidup hingga kini. Bila Komnas HAM –dan juga Kontras– bersikap demikian, maka jangan heran bila ada sebagian dari umat Islam yang merasa terusik dengan sikap Komnas HAM dan Kontras. Bahkan, jangan heran bila ada sebagian umat Islam yang justru memposisikan Komnas HAM –dan juga Kontras– sebagai lembaga yang mengidap Islamophobia, karena dianggap suka menghidup-hidupkan kasus masa lalu kami tentunya dalam rangka memberi stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Sebagai pelaku, kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu telah melukai umat Islam pada umumnya. Kami hanyalah sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang banyak (ratusan juta orang). Namun karena ulah yang segelintir ini umat Islam pada umumnya menjadi ikut ternoda. Apakah noda (stigma) ini yang sedang dihidup-hidupkan oleh Komnas HAM?

***

Bagaimana ceritanya sampai bisa tergabung ke dalam Jama’ah Warsidi di Talangsari-Lampung?

Sejak masih di Jakarta saya sudah menjadi bagian dari sebuah gerakan pimpinan Nurhidayat. Sedangkan Nurhidayat merupakan anak binaan dari Abdullah Sungkar yang sempat hengkang ke Malaysia bersama Ba’asyir dan mendirikan Jama’ah Islamiyah (JI).
Sekitar akhir Januari 1989, saya diajak oleh rekan satu jama’ah bernama Muhammad Ali alias Alex ke Talangsari. Alex tidak sendiri, tetapi bersama anak dan istrinya. Tujuan utama, ya… mendirikan komunitas Islam yang dipersiapkan untuk melawan thagut.

Setiba di Talangsari-Lampung, kami aktif melakukan latihan beladiri, berlatih menggunakan anak panah beracun dan bom molotov, sebagai persiapan berperang. Ketika Kapten Soetiman menyambangi kami, oleh sebagian jama’ah dimanfaatkan untuk mempraktekkan ilmu yang telah dimilikinya. Sehingga pecahlah perang tak seimbang pada keesokan harinya. Kami kalah…

Jadi, memang berniat untuk melawan kekuasaan dengan perang?
Ya.

Setelah kalah…
Terima kenyataan. Konsekuen dengan apa yang menjadi resiko perjuangan. Dipenjara atau ditembak mati adalah bagian dari konsekuensi yang harus diterima. Sportif. Berjiwa besar, kestaria. Jangan cengeng.

Apa hikmah yang bisa Anda petik?
Menegakkan kalimat Allah tidak bisa dibarengi dengan sikap arogan. Menegakkan kalimat Allah harus hati-hati, jangan sampai terpeleset menjadi memfitnah Agama Allah, menodai kesucian Islam dengan kekerasan yang dicari-cari dalil pembenarnya. (tede/nahimunkar.com)

Sumber:

http://nahimunkar.com/9383/berdalih-ham-untuk-menstigma-islam/